Realistis bisa diartikan dengan nyata
atau sesuatu yang bersifat wajar. Nah, kenapa saya bilang kalau
realistis itu kadang nggak perlu? Karena pada beberapa kasus,
realistis justru menjadi pembatas seseorang untuk berkeinginan dan
bermimpi. Misal, ketika seorang tukang bubur bermimpi naik haji,
orang yang realistis pasti beranggapan bahwa hal ini tidak mungkin.
Lah, cuma tukang bubur kok. Penghasilannya berapa perhari? Iya
kan? Coba kita kesampingkan dulu realistis dan mengumpulkan sejuta
kemungkinan yang mungkin terjadi, hal ini (tukang bubur naik haji)
bisa menjadi sebuah kenyataan.
Orang dewasa atau seseorang dengan
taraf berpikir yang tinggi, biasanya lebih bersifat realistis.
Berbeda dengan anak kecil yang kemampuan berpikirnya masih
berkembang. Masih ingat nggak ketika kita duduk di bangku sekolah
dasar dan ditanya cita-cita? Pasti yang keluar dari mulut-mulut
mungil kita adalah sebuah karir atau pencapaian yang besar. Ada yang
menjawab guru, dokter, pilot, astronot, dan pramugari. Tak pernah ada
yang menjawab ingin menjadi tukang gado-gado atau tukang ojeg
misalkan, meski keadaan keluarganya pas-pasan. Hal ini tentu saja
karena anak-anak belum mengerti apa itu realistis.