Maulid
Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW,
yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah.
Tradisi ini berkembang jauh setelah Rasulullah wafat. Karena itu
wajar saja jika kemudian terjadi pertentangan dikalangan ulama
mengenai kebolehan tradisi ini. Imam As-Suyuthi dalam kitab Husn
Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama
kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Malik Mudzofah Ibnu Batati,
penguasa dari negeri Ibbril yang terkenal loyal dan berdedikasi
tinggi. Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi,
perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan
difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara
itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta
dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan
berkuda dan angkatan bersenjata.
Di
Indonesia sendiri, Maulid Nabi Muhammad SAW diresmikan oleh
pemerintah dan dijadikan hari libur nasional. Diberbagai daerah,
Maulid nabi dirayakan dengan berbagai cara, baik dengan cara yang
sesuai dengan tuntunan syariah, seperti Tabligh akbar dan istigosah atau pun dengan
cara-cara yang sarat dengan kemusyrikan. Seperti yang biasa dilakukan
di Cirebon, pada tanggal 11-12 Rabiul Awal biasanya di Keraton
Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan
pusaka-pusaka keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang
berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut karena dipercaya
akan membawa keberuntungan.
Terlepas
dari boleh atau tidaknya perayaan Maulid Nabi dan berbagai tradisi
dalam rangka memperingatinya, seharusnya momentum kelahiran Nabi
Muhammad SAW bisa menjadi tolak ukur bagi setiap kaum muslim untuk
kembali meneladani beliau. Tidak hanya dari tataran personal, moral, dan ibadah namun
meneladani setiap ketetapan beliau dalam bidang ekonomi, pendidikan,
hingga politik.
“Wahai
Muhammad, Kami utus kamu hanyalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh
umat manusia.” (QS. Al Anbiya 21: 107).