credit |
Tadi
malam begitu meriah. Langit yang biasanya gulita berubah menjadi
semarak dengan kembang api berbagai warna dan bentuk. Malam yang
biasanya sunyi pun berubah menjadi hingar bingar dengan suara
terompet dan petasan yang tiada habisnya. Yah, merayakan tahun baru
sudah menjadi hal biasa di masyarakat. Setiap lapisan masyarakat
seolah tak ingin melewatkan pergantian malam tahun baru begitu saja.
Perayaan dibuat semeriah mungkin. Mulai dari pesta kembang api,
konser musik, parade, hingga tak jarang dirayakan dengan perbuatan
maksiat.
Merayakan
tahun baru, selain merupakan hal yang sifatnya hura-hura dan penuh
maksiat, hal ini juga merupakan tasyabbuh.
Tasyabbuh memiliki arti menyerupai atau mencontoh. Definisi dari
Al-Imam Asy Syafi'I Rohimahullah, bahwasannya "Tasyabbuh adalah
ungkapan yang menunjukkan upaya manusia untuk menyerupakan dirinya
dengan sesuatu yang diinginkan dirinya serupa dengannya dalam hal
tingkah laku . pakaian . atau sifat-sifatnya , Jadi tasyabbuh adalah
ungkapan tentang tingkah yang dibuat-buat yang diinginkan dan
dilakukanya.
Kenapa
merayakan tahun baru termasuk tasyabbuh?
Awal
muasal tahun baru 1 Januari adalah dari praktik penyembahan kepada
dewa matahari kaum Romawi. Sebagaimana yang kita ketahui, Romawi yang
terletak di bagian bumi sebelah utara mengalami 4 musim dikarenakan
pergerakan matahari. Dalam perhitungan sains masa kini yang juga
dipahami Romawi kuno, musim dingin adalah pertanda ’mati’ nya
matahari karena saat itu matahari bersembunyi di wilayah bagian
selatan khatulistiwa.
Sepanjang
bulan Desember, matahari terus turun ke wilayah bahagian selatan
khatulistiwa sehingga memberikan musim dingin pada wilayah Romawi,
dan titik tterjauh matahari adalah pada tanggal 21-22 Desember setiap
tahunnya. Lalu mulai naik kembali ketika tanggal 25 Desember.
Matahari terus naik sampai benar-benar terasa sekitar 6 hari
kemudian.
Karena
itulah Romawi merayakan rangkaian acara ’Kembalinya Matahari’
menyinari bumi sebagai perayaan terbesar. Dimulai dari perayaan
Saturnalia (menyambut kembali dewa panen) pada tanggal 23 Desember.
Lalu perayaan kembalinya Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tanggal 25
Desember sampai tanggal 1-5 Januari yaitu Perayaan Tahun Baru
(Matahari Baru). Ketika Romawi menggunakan Kristen sebagai agama
negara, maka terjadi akulturasi agama Kristen dengan agama pagan
Romawi. Maka diadopsilah tanggal 25 Desember sebagai hari Natal, 1
Januari sebagai Tahun Baru. Sumber : felixsiauw.com
Karena
itu, sebagai seorang muslim haram hukumnya mengikuti perayaan tahun
baru. Perayaan tahun baru yang sarat dengan gaya hidup hedonis jelas
bukan berasal dari islam. Umat islam memiliki penanggalan tersendiri
yaitu hijriyah. Penanggalan ini menjadikan rotasi bulan terhadap bumi
sebagai patokannya. Karena itu, Meski
saat ini penanggalan masehi dijadikan patokan sebagai penanggalan
internasional, hal ini tak lantas menjadi pelegalan bagi kita,
khususnya kaum muslim untuk ikut merayakan pergantian tahunnya.
Rasulullah
SAW bersabda,
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum . maka dia termasuk darinya.”
Wallahua'lam.
"Merayakan tahun baru, selain merupakan hal yang sifatnya hura-hura dan penuh maksiat..."
BalasHapus-----------------------------------------------------------------------
Jangan salahkan tahun barunya, tapi salahkan pelakunya. Tahun baru tdk serta merta membuat orang berbuat maksiat...orang lah yang memanfaatkan momen itu.
Lagipula Apakah anda yakin pula kalo tahun baru agama tertentu tdk bakal ada maksiat?
apakah kalimat yang saya tulis terkesan menyalahkan tahun baru?
Hapusyang pantas menjadi tersalah memang subjek bukan objek. perayaan apapun akan menjadi salah jika dirayakan dengan hal-hal yang menyalahi syariat
Gak pernah merayakan tahun baru. Cuma suka aja liat kembang api. :D
BalasHapusSama Mba Nisa, saya pun tak pernah merayakan tahun baru. :))
Hapuskalo saya merayakan tahun barunya di rumah ajah sambil liatin kembang api he
BalasHapus