18 Januari 2013

Belajar Memahami


Tulisan ini saya susun untuk mengikuti giveaway motivawritter. Tapi lebih dari itu, sebenarnya tulisan ini lebih saya tujukan untuk diri saya sendiri. Sebagai pengingat jika pada suatu saat nanti saya alpa atas apa yang akan saya tulis sekarang.

***
Pernikahan. Pada dasarnya adalah sebuah jalan untuk menyatukan dua manusia yang berbeda. Entah itu fisiknya, pikirannya, keinginannya, sampai pada hal kecil semisal kesukaan. Ketika menikah, dua insan ini dituntut untuk saling memahami dan saling menyempurnakan satu sama lain.
Bukan hal yang mudah untuk memahami seseorang. Seringnya apa yang menjadi keinginan orang lain, bukan menjadi keinginan kita. Atau yang menjadi kesukaan orang lain bukan menjadi kesukaan kita. Hal ini yang saya rasakan setelah menikah. Ditambah lagi, saya dan suami belum lama saling mengenal. Hanya kurang lebih 3 bulan kami menjalani ta'aruf. Selama rentang waktu itu pun tak banyak komunikasi yang kami jalin. Hanya sesekali jika memang sangat mendesak. Suami saya pernah berkata,

Jika keyakinan pada seseorang tidak berbanding lurus dengan berapa lama kita mengenalnya.

Perkataannya inilah yang membuat saya mantap untuk menjadi sulbinya.

Dan setelah menikah, taraaaaa banyak sekali kejutan yang dia beri. Ada yang saya suka dan tak sedikit yang saya tidak suka.
Jujur, awal menikah saya kurang bisa meredam egoisme. Jadi ketika menemukan hal-hal yang tidak saya suka, saya langsung komplain dan ngoceh sampai keinginan saya dituruti.

Satu kebiasaannya yang paling tidak saya suka adalah ketika dia asyik berduaan dengan laptopnya. Dia sangat fokus dan acap kali mengacuhkan saya. Karena kesal, saya pernah bertanya padanya,
Istrinya Aa itu siapa sih? Neng atau laptop?” (Haaahaa, orang sunda dialognya pake Neng dan Aa :D)
 Suami saya jelas terkejut mendengar pertanyaan konyol saya“Ya Neng lah, masa laptop,” jawabnya dengan nada bercanda.

Bukan tanpa alasan saya membenci kebiasaannya ini. Ketika suami asyik sendiri dengan laptopnya, saya merasa sangat kesepian karena di rumah hanya ada kami berdua. Selain itu, di tempat tinggal sekarang, saya belum mempunyai kenalan karena baru pindah.

Saking tidak sukanya pada kebiasaannya ini, saya sempat bersu'udzon jika suami tak benar-benar mencintai saya. Kalau cinta harusnya diperhatikan dong? Kalau cinta seharusnya meluangkan waktu untuk sekedar ngobrol kan? Anggapan-anggapan ini yang berseliweran dalam pikiran saya.

Beruntung Allah tak membiarkan saya terlalu lama tenggelam dalam anggapan buruk saya tentang suami. Dia menyadarkan saya dengan jalannya yang tak terduga. Ketika saya sedang berselancar di facebook, saya menemukan sebuah note tentang rumah tangga. Isinya bercerita tentang suami istri yang sepakat untuk menuliskan hal-hal yang tidak disukai dari pasangannya dalam sebuah kertas. Hal ini diprakarsai oleh si istri karena merasa terlalu banyak sifat dan sikap suaminya yang membuatnya kesal. Setelah selesai, keduanya memperlihatkan tulisannya masing-masing. Kertas si istri sudah tentu penuh dengan keluhan tentang suaminya. Semisal, kamu nyimpen cucian kotor selalu sembarang. Tidur ngorok kamu sangat menggangguku. Habis kerja harusnya kamu mandi jangan langsung tidur. Dan masih banyak lagi hingga kertasnya penuh. Tetapi, ketika si suami memperlihatkan kertasnya, betapa malunya si istri. Di kertas itu hanya tertulis. Aku menyukai semua hal tentang dirimu. Membaca ini air mata si istri luruh seketika. Begitu juga air mata saya. Sekuat tenaga saya menahan butiran bening yang mendesak keluar di ujung kelopak mata, namun akhirnya luruh juga. Tubuh saya menggigil menyadari kesalahan yang saya lakukan pada suami. 
 
Saya tahu, si suami bukannya tak mempunyai keluhan tentang istrinya, tapi dia menyadari jika kekurang istrinya bukanlah suatu hal untuk dikeluhkan, tapi untuk dia sempurnakan. Entah itu dengan cara mengingatkan istrinya, atau menjadi penyempurna dari kekurangan itu. Selama menikah, saya selalu komplain jika menemukan hal yang tidak saya suka. Tapi suami saya, tidak. Dia tak pernah protes tentang kebiasaan tidur saya yang tidak bisa diam, masakan saya yang kurang enak, dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya.

Setelah kejadian ini saya memaksa diri sendiri untuk lebih memahami suami. Suami sangat fokus dengan laptopnya (mungkin) karena saat itu dia sedang mengerjakan skripsinya dan berharap agar nilai akhirnya bagus hingga bisa membuat saya, sebagai istrinya bangga. Berhusnudzon ternyata lebih membuat hati tenang jika dibanding dengan terus-terusan berprasangka buruk pada orang lain. Agar tak kesepian ketika suami sedang berkencan dengan laptop, saya mencoba membuatkan makanan kecil dan minuman hangat untuknya. Setelah itu duduk di sampingnya dan menanyakan ini itu seputar html dan kode-kode pemrograman. Finally, usaha saya berhasil. Suami tak merasa risih ketika saya ada di sampingnya walau sesekali saya menggodanya dengan memencet keyboard sembarangan. Dulu tak suka, tapi sekarang hal ini menjadi sesuatu yang justru mendekatkan saya dan suami. Karena ketika saya bertanya seputar komputer, suami saya sangat bersemangat menjawabnya.

Jangan memaksa orang yang kita cintai untuk mencintai kita sesuai dengan cara yang kita inginkan, tapi belajarlah memahami caranya mencintai kita. Karena dengan begitu, kita akan tahu betapa besar cinta yang dia persembahkan untuk kita.

Dulu kau sering bertanya tentang arti memahami padaku
Kini aku tahu jawabannya, Sayang
Memahami itu pohon mahoni
Lihatlah, bagaimana dia tak memaki kemarau yang membuatnya kelaparan
Tapi dia justru menggugurkan daun-daun egoisme yang menguning di tubuhnya

Postingan ini diikutsertakan pada, Motivawritter Giveaway


3 komentar:

  1. suka kalimat terakhirnya
    seperti mahoni yang tidak membenci kemarau,

    hm..gutlak buat giveawaynya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. seperti mahoni yang tak memaki kemarau mba ^^
      makasih yaa

      Hapus
  2. Jangan lupa daftar yah mba, hihihi :')

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming