Senin,
31 Agustus 2015 waduk Jatigede mulai digenangi. Tepatnya, sudah
seminggu waduk Jatigede digenangi. Penggenangan itu ditandai dengan
ditutupnya pintu terowongan pengelak yang berfungsi mengalirkan air
dari Sungai Cimanuk menuju ke dalam tubuh bendungan. Waduk yang
pembangunannya memakan waktu kurang lebih 50 tahun ini, akhirnya
digenangi meski masih menyisakan banyak persoalan.
Waduk
Jatigede merupakan waduk terbesar kedua di Indonesia setelah Waduk
Jatiluhur. Waduk ini mampu menampung 980 juta meter kubik air, dengan
luas permukaan waduk 41,22 kilometer persegi. Pada elevasi maksimal,
260 meter di atas permukaan laut (mdpl), waktu yang diperlukan ialah
220 hari. Namun, pada tahap awal, elevasi yang ditargetkan ialah 221
mdpl. Pada elevasi itu terdapat terowongan pengatur air irigasi.
Sejak
awal pembangunannya, proyek ini menuai banyak masalah sosial terutama
menyangkut ganti rugi terhadap warga. Sampai saat ini pembayaran
ganti rugi terhadap warga belum tuntas dilakukan. Bayangkan saja,
pembangunan ini menenggelamkan 28 desa dan mengusir sekitar 16. 000
jiwa warga Sumedang. Sampai hari pertama penggenangan, masih banyak
warga yang belum direlokasi. Hal ini bisa terlihat dengan masih
banyak rumah-rumah di wilayah genangan yang belum dibongkar.
Selain bencana sosial, pembangunan waduk ini juga mendatangkan
bencana ekologi yang menyebabkan hilangnya sekitar 1 juta lahan hijau
produktif, ancaman pengangguran massif, puluhan situs kebudayaan
Sunda sejak era abad ke-8 hingga Kerajaan Pajajaran terancam
tenggelam.
credit |
Pemerintah
dengan tugasnya mengurus urusan rakyat, termasuk menyediakan
fasilitas umum, seharusnya mengadakan dialog dan membuat keputusan
dengan warga ketika berencana melakukan pembangunan yang mengganggu
hak warga. Hal ini tentu saja agar tidak timbul masalah ketika dan
setelah proyek ini dibangun. Bagaimana pun warga mempunyai hak yang
harus dihormati pemerintah. Bayangkan saja, dengan dibangunnya waduk
ini, banyak warga yang harus meninggalkan tempat kelahirannya dan
mencari tempat tinggal yang baru. Dengan uang ganti rugi yang tidak
sesuai, kecil kemungkinan bagi mereka untuk kembali mendapat tempat
tinggal yang layak. Dan bagi mereka yang berprofesi sebagai petani,
akan sulit mendapat sumber penghasilan baru setelah lahan produktif
mereka digusur.i
Dan
selain semua masalah di atas, kini beredar kabar lagi bahwa Waduk
Jatigede rentan ambrol. Pasalnya berada di sekitar lempeng tektonik
yang masih aktif. Sudah banyak para ahli geologi dari mulai Ir.
Sobirin Ahli Geologi dan Bendungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan
Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) tahun 2010 sampai ke yang terbaru di
tahun 2015 Dr. Ir. Emi Sukiyah, MT, Ahli Geologi UNPAD menyampaikan
tentang potensi ancaman ambrolnya Waduk Jatigede oleh Sesar Aktif
Baribis. Dr. Ir. Emi Sukiyah, MT menyampaikan bahwa Infrastruktur
sebesar Waduk Jatigede dengan volume bendungan 1 Milyar m3 (setara
1000 kali Situ Gintung) tidak seharusnya dibangun di Jatigede karena
tektoniknya aktif dan berada di episentrum gempa. Dr. Ir. Emi
Sukiyah, MT juga menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya transparan
terhadap resiko Waduk Jatigede.
Pada
awalnya, saya -sebagai warga Sumedang- begitu excited saat
mengetahui perihal pembangunan waduk ini. Dalam bayangan saya, dengan
dibangunnya waduk ini Sumedang akan tambah maju dan tambah hingar
bingar dengan berdatangannya turis dari luar kota bahkan luar negeri.
Waahh! Sumedang akan tambah dikenal bukan hanya karena tahu-nya saja.
Namun, setelah tahu bahwa sejatinya pembangun waduk ini lebih
membantu sistem pengairan di wilayah sekitar Sumedang seperti
Majalengka dan Indramayu, saya tak terlalu excited lagi.
Apalagi setelah tahu, pembangun waduk ini menuai begitu banyak
masalah.
Ah,
semoga pemerintah daerah dan pusat bisa segera menyelesaikan masalah
ini. Agar tak ada lagi warga yang merasa dirugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming