credit |
Tak
ada yang percaya ketika pemuda 19 tahun ini menyatakan keinginannya
untuk menikah. Semua menolak. Semua keluarga menyangsikan
keinginannya. Bukan tanpa alasan. Usianya yang masih muda dan belum
memiliki pekerjaan tetaplah yang membuat kami ragu. Pernikahan bukan
hal main-main. Butuh persiapan mental, ilmu, dan financial yang tak
sedikit.
Dalam
islam, pernikahan disebut dengan mitsaqan ghaliza, artinya perjanjian
yang tinggi, kukuh, kuat. Perjanjian yang namanya demikian hanya
ditemui tiga kali dalam Al-Qur’an. Pertama, yakni menyangkut
perjanjian antara suami-istri, dan dua sisanya menggambarkan
perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7) dan
perjanjianNya dengan umatNya dalam konteks melaksanakan pesan-pesan
agama (QS An-Nisa 4:154).Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa
menikah adalah menyempurnakan separuh agama. Islam sendiri
menempatkan pernikahan dalam derajat ibadah yang tinggi. Tentu saja
tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang harus dipikul setiap
individu setelah menikah pun tak main-main. Karena itu, kami meminta
pemuda 19 tahun ini untuk memikirkan kembali keputusannya.
Beragam
kata rayuan sudah diluncurkan, namun dia tetap tak bergeming. Bahkan
jawabannya yang membuat kami tergugu.
“Apa
tak ingin main-main dulu? Mumpung masih muda!”
“Emang
hidup untuk main-main,” jawabnya lantang.
“Emang
tujuannya nikah untuk apa?”
“Ibadah.
Jaga diri” katanya.
Singkat
kata, akhirnya semua keluarga menyetujui keinginannya. Apalagi
setelah dia menyodorkan foto seorang gadis -yang juga masih muda-
yang bersedia menikah dengannya. Ustadnya yang mencarikan. Gadis ini
dan keluarganya tak keberatan dengan keadaan pemuda 19 tahun ini,
yang masih muda, ababil, dan belum memiliki pekerjaan tetap. Semua
hal itu bukan penghalang untuk menjalankan pernikahan, katanya. Asal
sudah ingin dan siap. Masalah ilmu dan rizki itu bisa nyusul.
Bulan
Desember kami sekeluarga datang ke rumah sang gadis untuk
mengkhitbahnya, dan tanggal 18 Maret kemarin, pemuda 19 tahun ini
resmi menikah. Kami hanya bisa berdoa semoga pemuda ini bisa
menjalankan kewajibannya dengan baik dan membangun kelurga samara
dengan pasangannya. Berawal dengan niat yang baik, proses yang baik
(taaruf), semoga akan berakhir dengan baik pula.
Dewasa
ini, kita sering mengukur kesiapan seseorang untuk menikah dari usia
dan materi yang dimilikinya. Padahal pernikahan bukanlah proses
menggabung dua insan yang berusia matang dan memiliki materi yang
lebih. Karena itu tak heran ketika para orangtua berbondong-bondong
menyuruh anaknya untuk sukses secara financial dulu, sebelum akhirnya
memutuskan untuk menikah.
Dalam
pernikahan, financial memang penting. Tapi bukan faktor utama yang
menyukseskan sebuah rumah tangga. Ia (financial) hanya faktor
pendukung saja. Toh, banyak rumah tangga yang hancur meski dari segi
materi berlebih.
Sebagai
seorang muslim, pantang bagi kita untuk menjadikan materi sebagai
sumber kebahagiaan. Sumber kebahagiaan seorang muslim adalah ridho
Allah. Maka ketika ada seorang pemuda yang ingin menikah dan masih
minim dalam segi materi, bukan hak kita untuk melarangnya. Bahkan
Allah sendiri yang berjanji akan menolong mereka. Seperti dalam
firmanNya,
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32)
Dan
seperti yang tercantum dalam hadits,
“Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu
seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya
supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara
kehormatannya”. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah
hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)
pemuda hebat! Saluutttt!!!
BalasHapusAaamiin. mudah-mudahan dia bisa bertanggung jawab
BalasHapus