30 Juni 2013

Terkadang Realistis Itu Nggak Perlu

Realistis bisa diartikan dengan nyata atau sesuatu yang bersifat wajar. Nah, kenapa saya bilang kalau realistis itu kadang nggak perlu? Karena pada beberapa kasus, realistis justru menjadi pembatas seseorang untuk berkeinginan dan bermimpi. Misal, ketika seorang tukang bubur bermimpi naik haji, orang yang realistis pasti beranggapan bahwa hal ini tidak mungkin. Lah, cuma tukang bubur kok. Penghasilannya berapa perhari? Iya kan? Coba kita kesampingkan dulu realistis dan mengumpulkan sejuta kemungkinan yang mungkin terjadi, hal ini (tukang bubur naik haji) bisa menjadi sebuah kenyataan.

Orang dewasa atau seseorang dengan taraf berpikir yang tinggi, biasanya lebih bersifat realistis. Berbeda dengan anak kecil yang kemampuan berpikirnya masih berkembang. Masih ingat nggak ketika kita duduk di bangku sekolah dasar dan ditanya cita-cita? Pasti yang keluar dari mulut-mulut mungil kita adalah sebuah karir atau pencapaian yang besar. Ada yang menjawab guru, dokter, pilot, astronot, dan pramugari. Tak pernah ada yang menjawab ingin menjadi tukang gado-gado atau tukang ojeg misalkan, meski keadaan keluarganya pas-pasan. Hal ini tentu saja karena anak-anak belum mengerti apa itu realistis.