31 Desember 2015

AGAR MAULID TAK SEKEDAR PERAYAAN


Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Tradisi ini berkembang jauh setelah Rasulullah wafat. Karena itu wajar saja jika kemudian terjadi pertentangan dikalangan ulama mengenai kebolehan tradisi ini. Imam As-Suyuthi dalam kitab Husn Al-Maqosid fi Amal Al-Maulid menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah Malik Mudzofah Ibnu Batati, penguasa dari negeri Ibbril yang terkenal loyal dan berdedikasi tinggi. Pada masa Abbasiyah, sekitar abad kedua belas masehi, perayaan maulid Nabi dilaksanakan secara resmi yang dibiayai dan difasilitasi oleh khalifah dengan mengundang penguasa lokal. Acara itu diisi dengan puji-pujian dan uraian maulid Nabi, serta dilangsungkan dengan pawai akbar mengelilingi kota diiringi pasukan berkuda dan angkatan bersenjata.

Di Indonesia sendiri, Maulid Nabi Muhammad SAW diresmikan oleh pemerintah dan dijadikan hari libur nasional. Diberbagai daerah, Maulid nabi dirayakan dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sesuai dengan tuntunan syariah, seperti Tabligh akbar dan istigosah atau pun dengan cara-cara yang sarat dengan kemusyrikan. Seperti yang biasa dilakukan di Cirebon, pada tanggal 11-12 Rabiul Awal biasanya di Keraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan pusaka-pusaka keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut karena dipercaya akan membawa keberuntungan.

Terlepas dari boleh atau tidaknya perayaan Maulid Nabi dan berbagai tradisi dalam rangka memperingatinya, seharusnya momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW bisa menjadi tolak ukur bagi setiap kaum muslim untuk kembali meneladani beliau. Tidak hanya dari tataran personal, moral, dan ibadah namun meneladani setiap ketetapan beliau dalam bidang ekonomi, pendidikan, hingga politik.

“Wahai Muhammad, Kami utus kamu hanyalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.” (QS. Al Anbiya 21: 107).

Resolusi Gagal 2015 : Menjadi Seorang Blogger


Saking betahnya di dunia, waktu 1 tahun terasa begitu cepat. Perasaan baru kemarin tanggal 1 Januari, eh sekarang sudah akhir tahun saja. Banyak cerita dan pengalaman hidup yang terjadi dalam kurun waktu 1 tahun ini. Hal yang lumrah dan biasa dilakukan setiap akhir tahun adalah menyusun sederet resolusi untuk tahun yang baru. Sudah nggak zamannya lagi kan menjalani hidup bagai air yang mengalir? Mengutip perkataan Ustaz Jamil Azzaini dalam bukunya, Tuhan, Inilah Proposal Hidup Saya, jika acara yang dilaksanakan satu hari saja butuh proposal yang bagus, apalagi hidup kita! Sudah selayaknya kita menyiapkan rencana dan target-targetan yang rapi. Meski ketentuan sepenuhnya ada di tangan Yang Mahakuasa, tapi sebagai manusia kita memiliki kewajiban untuk berikhtiar semaksimal mungkin demi menggapai apa yang kita cita-citakan.

Sayangnya, resolusi yang kita buat setiap tahun tidak terlaksana semua. Ada yang memang kita sudah menhusahakannya namun gagal, ada pula yang gagal karena kurang maksimalnya usaha kita. Nah, disinilah pentingnya sebuah introspeksi diri. Agar kita bisa mengambil pelajaran dari kesalahan yang sudah kita lakukan.

Salah satu resolusi yang gagal di tahun ini adalah menjadi seorang blogger. Beberapa waktu lalu saya sempat blogwalking ke salah satu blog dan menemukan perkataan seseorang (entah penulis, entah redaktur majalah) yang saya lupa namanya (ampun pikun). Inti dari pernyataannya adalah baru satu dua kali posting, sudah mau disebut blogger. Baru satu dua kali jalan-jalan, sudah mau disebut traveler. Membacanya, saya tersindir luar biasa. Saya sering menyebut bahwa saya adalah seorang blogger. Padahal posting di blog pun jarang-jarang. Kalau menulis harus nunggu mood dulu. Lihat saja jarak postingan ini dengan postingan sebelumnya! Dua bulan!

credit