Selama
hampir 22 tahun di dunia, sedikit sekali tempat-tempat yang sudah
saya kunjungi. Bukannya saya tak suka traveling, tapi ada hal lain
yang membuat saya tak bisa menjelajah sesuka hati kecuali
kalau diwajibkan pihak sekolah semacam studytour atau darmawisata.
Tempat-tempat indah yang sudah saya kunjungi masih bisa dihitung
dengan jari. Makanya, aduuuuh. Saya bingung banget mau menceritakan
tempat yang mana untuk ikutan GA ini. Otak saya berputar, lalu saya
putuskan untuk menuliskan keindahan rumah mungil saya (baca :
kontrakan) ketika masih di Tangerang. Kok malah kontrakan sih? Apa
nggak ada tempat yang lebih indah? Bagi saya sebuah tempat itu layak
untuk diingat ketika banyak memberikan pelajaran hidup dan kenangan
yang tak lekang dimakan waktu. Buat apa indah, tapi hanya
meninggalkan kesan selintas?
Penampakan depan rumah |
Setelah
menikah, saya putuskan untuk ikut suami ke Tangerang. Di sana suami
bekerja di sebuah perusahaan sebagai maintenance, lalu dipindah
tempatkan ke kantor pusat sebagai Staff IT setelah mengantongi ijazah
S1.
Tiga
kali saya pindah. Dari kontrakan yang satu, pindah lagi ke kontrakan yang
lain, tentu saja dengan pertimbangan kenyamanan dan jarak tempuh ke
tempat kerja suami. Kontrakan terakhir yang kami tempati beralamat di
Kampung Rawa, Dusun Pondok Pucung, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang
Selatan. Ayo siapa yang rumahnya dekat situ? Kami memilih kontrakan
ini karena jaraknya yang hanya 10 menit dari stasiun kereta Sudimara.
Selain itu, tempatnya tidak terlalu padat dan panas karena tepat di
sebelah kiri kontrakan ada kebun bambu. Kata orang sih ngeri. Halaman
di depan rumah juga cukup luas untuk bermain anak-anak. Tidak
seperti di daerah lain yang hanya berupa gang sempit.
Kontrakan
kami hanya sepetak, ditambah dapur dan kamar mandi. Kalau dilihat
dari standar kelayakan sebuah hunian, memang nggak standar banget ya,
rumah kami ini. Kamar tidur, ruang tamu, tempat makan, ruang
keluarga, tumplek jadi satu di ruangan tersebut. Kalau pagi hari,
saya sibuk mendirikan kasur bekas tidur semalam. Kalau ada tamu
datang, saya harus rela nyusuin Khoiry di dapur. Selepas makan, harus
terus nyapu atau ngpel minyak dan sisa makanan yang tercecer di
lantai. Dan kalau saya goreng ikan, wuih, baunya mubek, muter-muter
di rumah. Yah, tapi seperti kata suami, yang penting bisa dipakai
berlindung dari panas matahari dan berteduh saat hujan turun. Orang
lain bahkan ada yang tidak punya rumah sama sekali dan harus tinggal
di kolong jembatan.
Di samping kasur : Khoiry anteng main sama teman-temannya |
Selama
tinggal di rumah mungil ini, banyak sekali pelajaran yang bisa saya
ambil di samping kemudahan-kemudahan yang saya dapati karena tinggal
di sana. Karena rumah kami hanya sepetak, jadi bersih-bersihnya juga
tak terlalu menguras energi. Mau ke dapur tinggal balik kanan, mau ke
kamar mandi tinggal maju beberapa langkah. Betapa Allah memudahkan
hidup kita ya? :)
Dari
rumah mungil ini saya belajar makna sebenarnya tentang hakikat
kehidupan di dunia. Dunia ini hanya sementara kita tinggali persis
seperti rumah mungil ini. Suatu saat nanti kita pasti pindah ke rumah
milik kita, rumah sebenarnya. Ketika saya sudah pulang kampung dan
tak lagi tinggal di sana, yang saya ingat adalah bagaimana kami
mencukupkan diri dengan perabotan rumah yang seadanya. Ketika saya
ingin beli ini itu, suami mengingatkan saya untuk membeli barang
seperlunya. Di sini kan sempit, nanti kalau mau beli barang-barang
lebih baik ketika kita sudah punya rumah sendiri. Atau ketika suatu
hari saya ingin mengganti warna cat rumah, suami bilang, ini kan
bukan rumah kita, mending sekarang nabung buat bisa mempercantik
rumah kita sebenarnya.
Yes it
is!. Mari kita analogikan dengan kehidupan kita di dunia. Terkadang
kita sibuk mengerjar-ngejar dunia, seolah lupa suatu hari nanti kita
akan pulang ke rumah sebenarnya (akhirat). Kita terkadang alpa untuk
menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Sibuk
mengumpulkan harta dan mempercantik kehidupan kita di dunia, padahal mati hanya
berselimut kafan.
Terkadang
saya rindu dengan suasana di rumah mungil sana. Rindu melihat ciptaan
Allah yang luar biasa berupa manusia dengan berbagai suku dan
bahasanya. Tetangga kanan saya orang betawi asli, tetangga depan
orang jawa, ada juga yang dari Palembang dan suku Sunda seperti saya.
Kalau boleh saya bilang, kontrakan di ibukota itu mirip Indonesia
mini. Mengumpulkan orang-orang dari berbagai daerah yang mengadu
nasib di Ibukota.
Finally,
pasti nggak ada temans yang berharap untuk tinggal di rumah kontrakan
kecil seperti saya. Setiap orang pasti menginginkan rumah yang lapang
untuk tempat tinggal dan tempat berlabuh ribuan bahkan jutaan
kenangan. Namun, Allah tidak mempunyai maksud lain dari terciptanya
berbagai tempat (baik indah maupun buruk) kecuali agar kita bisa
mencari dan memperoleh hikmah darinya.
Setuju mbak... Jakarta itu layaknya Indonesia mini. Dulu awal pindah dari Aceh ke Jakarta aku juga menghadapi orang-orang dengan beragam karakter dan akhirnya terbiasa setelah berinteraksi lama... sekarang setelah pisah jadi rindu dengan mereka. :D
BalasHapusAnaloginya juga tepat... semoga rumah kita sebenarnya nanti indah dan luas ya Mbak. Amin...
sekarang masih diJakarta mba?
HapusAamiiin.
semoga rumah abadi kita luas dan lapang :))
Saya mestinya punya banyak a place to remember nih mba, karena kehidupannya kemana-mana ngontrak aja bawaanya, Maasha Allah, semoga di 'kampung halaman' nanti kita dikaruniai hunian yang layak ukh. Gak papa di sini ngontrak mah, asal dikasih kunci hunian abadi ya ;)
BalasHapushihiihi iya, kontraktor banyak pengalamannya ya Mbak.
Hapusketemu banyak orang dengan cerita yang beda pulak
"Terkadang kita sibuk mengerjar-ngejar dunia"... iya benar sekali mba, saya jadi merasa diingatkan nih. Seringkali kurang puas ini itu yg tidak prinsip :)
BalasHapusTerima kasih sudah berpartisipasi di GA ini ya, good luck.