Setelah
pilpres usai, saya pikir berbagai perseteruan usai sudah. Media
sosial maupun elektronik segera bersih dari berbagai hujatan, hinaan,
fitnah keji dan sikap merasa paling baik. Duh! Ternyata, malah
semakin panas dan menyala-menyala. Hasil quick qount yang diberitakan
lembaga survei ternyata berbeda. Beberapa memenangkan nomor 1 dan
beberapa memenangkan nomor 2. Hal ini tak pelak mengundang reaksi
yang beragam dari pasangan capres-cawapres, elite partai, simpatisan,
sampai rakyat biasa. Hasil quick qount yang berbeda, membuat
masing-masing kubu mengklaim dirinyalah yang menang dan lawannya yang
kalah. Kalau pun ada lembaga survei yang memenangkan lawannya, mereka
menganggap pasti ada kecurangan. Mulai lagi deh, mencari kesalahan
dari pihak lawan.
Saya
pusing, * bukannya acuh dengan nasib bangsa sendiri, tapi bolehkah
saya bertanya kepada tuan-tuan yang katanya menjunjung tinggi
demokrasi, mana buktinya kalau demokrasi itu musyawarah mufakat? Mana
buktinya kalau demokrasi itu menghormati suara terbanyak kalau
masing-masing ingin menjadi pemenang dan melakukan segala cara untuk
menang?
Sikap
pemimpin sekarang, sangat jauh berbeda dengan pemimpin terdahulu
dalam islam. Kita ambil contoh para Khulafaur Rasyidin ketika mereka
diangkat menjadi pengganti Rasulullah. Kata yang keluar pertama kali
dari mulut mereka adalah Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ya,
mereka memandang bahwa amanah kepemimpinan adalah sebuah musibah
besar yang menimpa mereka. Mereka sadar, kelak mereka akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa sebelum diangkat menjadi Kholifah, Abu Bakar sempat
menunjuk Umar dan Abu Ubaidah untuk menjadi Kholifah. Namun kedua
orang ini merasa tidak lebih baik dari Abu Bakar. Sikap ini
menunjukkan bahwa Abu Bakar yak pernah meminta untuk menjadi
Kholifah, bahkan dia menunjuk orang lain yang dirasanya lebih mampu.
Pada
akhirnya, justru rasa takut akan amanah inilah yang membawa
keberhasilan dalam kepemimpinan mereka. Rasa takut membuat mereka
berhati-hati dalam mengambil sebuah kebijakan untuk umat. Dan rasa
takut itu pula yang kemudian mendorong mereka untuk menomor satukan
urusan umat dibanding urusan mereka sendiri.
Coba
kita lihat, bagaimana pidato Abu Bakar dan Umar bin Khatab ketika
diangkat menjadi kholifah.
Abu
Bakar, berkata,
“Wahai
manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan,
padahal aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku
melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat
salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan
kedustaan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kamu
adalah orang yang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan
orang yang kuat di antara kamu adalah lemah bagiku hingga aku
mengambil hak-haknya. Insya Allah. Janganlah salah seorang dari kamu
meninggalkan jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan
jihad, maka Allah akan menimpakan atas mereka suatu kehinaan.
Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika
aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, sekali-kali janganlah kamu
menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu.”
Sedangkan
Umar bin Khatab berkata,
“Aku
telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras
dengan jiwanya yang terbaik di antara kamu dan lebih kuat terhadap
kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan Kamu yang
penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama dengan
beliau. Andaikata aku tahu ada orang yang lebih kuat daripadaku untuk
memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku
sukai daripada memikul jabatan ini.”. “Sesungguhnya Allah menguji
kamu dengan aku dan menguji aku dengan kamu dan membiarkan aku
memimpin kamu sesudah sahabatku. Maka demi Allah, bila ada satu
urusan kamu dihadapkan kepadaku, maka janganlah urusan itu diurus
oleh seseorang selain aku, dan janganlah seseorang menjauhkan diri
dari aku, sehingga aku dapat memilih orang yang benar dan memegang
amanah. Jika mereka berbuat baik, tentu aku akan berbuat baik kepada
mereka, dan jika mereka berbuat jahat, maka tentu aku akan menghukum
mereka.”
MasyaAllah.
Rindu sekali untuk dipimpin orang-orang seperti mereka. Tapi apakah
bisa kita menemukan orang seperti mereka saat ini? Di negeri kita?
Pada sistem yang justru membuat orang-orang haus akan kekuasaan?
Saya
jadi teringat sebuah hadits,
إِنَّا
لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا
مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
“Kami
tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan
tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” [HR.
al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733]
Saya
tahu tidak ada manusia yang sempurna untuk menjadi pemimpin di dunia
ini, tapi saya juga tahu, Allah tak melarang kita untuk menciptakan
sebuah harapan yang sempurna untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming