14 Juli 2014

Antara yang Menerima dan Meminta


Setelah pilpres usai, saya pikir berbagai perseteruan usai sudah. Media sosial maupun elektronik segera bersih dari berbagai hujatan, hinaan, fitnah keji dan sikap merasa paling baik. Duh! Ternyata, malah semakin panas dan menyala-menyala. Hasil quick qount yang diberitakan lembaga survei ternyata berbeda. Beberapa memenangkan nomor 1 dan beberapa memenangkan nomor 2. Hal ini tak pelak mengundang reaksi yang beragam dari pasangan capres-cawapres, elite partai, simpatisan, sampai rakyat biasa. Hasil quick qount yang berbeda, membuat masing-masing kubu mengklaim dirinyalah yang menang dan lawannya yang kalah. Kalau pun ada lembaga survei yang memenangkan lawannya, mereka menganggap pasti ada kecurangan. Mulai lagi deh, mencari kesalahan dari pihak lawan.

Saya pusing, * bukannya acuh dengan nasib bangsa sendiri, tapi bolehkah saya bertanya kepada tuan-tuan yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, mana buktinya kalau demokrasi itu musyawarah mufakat? Mana buktinya kalau demokrasi itu menghormati suara terbanyak kalau masing-masing ingin menjadi pemenang dan melakukan segala cara untuk menang?

Sikap pemimpin sekarang, sangat jauh berbeda dengan pemimpin terdahulu dalam islam. Kita ambil contoh para Khulafaur Rasyidin ketika mereka diangkat menjadi pengganti Rasulullah. Kata yang keluar pertama kali dari mulut mereka adalah Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ya, mereka memandang bahwa amanah kepemimpinan adalah sebuah musibah besar yang menimpa mereka. Mereka sadar, kelak mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sebelum diangkat menjadi Kholifah, Abu Bakar sempat menunjuk Umar dan Abu Ubaidah untuk menjadi Kholifah. Namun kedua orang ini merasa tidak lebih baik dari Abu Bakar. Sikap ini menunjukkan bahwa Abu Bakar yak pernah meminta untuk menjadi Kholifah, bahkan dia menunjuk orang lain yang dirasanya lebih mampu.

Pada akhirnya, justru rasa takut akan amanah inilah yang membawa keberhasilan dalam kepemimpinan mereka. Rasa takut membuat mereka berhati-hati dalam mengambil sebuah kebijakan untuk umat. Dan rasa takut itu pula yang kemudian mendorong mereka untuk menomor satukan urusan umat dibanding urusan mereka sendiri.

Coba kita lihat, bagaimana pidato Abu Bakar dan Umar bin Khatab ketika diangkat menjadi kholifah.

Abu Bakar, berkata,

“Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kamu adalah orang yang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang yang kuat di antara kamu adalah lemah bagiku hingga aku mengambil hak-haknya. Insya Allah. Janganlah salah seorang dari kamu meninggalkan jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad, maka Allah akan menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, sekali-kali janganlah kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu.”

Sedangkan Umar bin Khatab berkata,

“Aku telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik di antara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih mampu untuk memikul urusan Kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu ada orang yang lebih kuat daripadaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini.”. “Sesungguhnya Allah menguji kamu dengan aku dan menguji aku dengan kamu dan membiarkan aku memimpin kamu sesudah sahabatku. Maka demi Allah, bila ada satu urusan kamu dihadapkan kepadaku, maka janganlah urusan itu diurus oleh seseorang selain aku, dan janganlah seseorang menjauhkan diri dari aku, sehingga aku dapat memilih orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat baik, tentu aku akan berbuat baik kepada mereka, dan jika mereka berbuat jahat, maka tentu aku akan menghukum mereka.”

MasyaAllah. Rindu sekali untuk dipimpin orang-orang seperti mereka. Tapi apakah bisa kita menemukan orang seperti mereka saat ini? Di negeri kita? Pada sistem yang justru membuat orang-orang haus akan kekuasaan?

Saya jadi teringat sebuah hadits,

إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ

“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” [HR. al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733]

Saya tahu tidak ada manusia yang sempurna untuk menjadi pemimpin di dunia ini, tapi saya juga tahu, Allah tak melarang kita untuk menciptakan sebuah harapan yang sempurna untuk kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming