Berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini dia bangun
saat hari masih diringkus embun. Gegas ke sumur di belakang rumah,
kemudian membersihkan badannya. Tumben, pikirku.
Namun ada yang berbeda dengan pakaiannya kini, tak ada lagi kaos
oblong lusuh dan jeans belelnya. Dia mengenakan baju koko lengkap
dengan sarung dan peci putihnya. Apakah dia benar-benar sudah tobat?
Kuamati lekat-lekat penampilan sahabatku itu. Hendak kemana dia
dengan dandanan seperi itu? Mesjid? Kemarin dia masih pulang dengan
mulut bau alkohol. Apakah manusia bisa berubah secepat itu? Ah,
entahlah. Dan seketika, pikiran-pikiranku tentangnya buyar saat dia
mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Hari ini kamu ngga usah ikut kerja, di rumah aja,
ya? Kamu kan masih sakit.” Lantas dia mengacak-ngacak kepalaku
kemudian berlalu setelah menyambar map-map merah di atas meja. Pagi
ini dia sukses membuatku penasaran dengan apa yang akan dilakukannya.
Aku bertemu dengannya enam bulan lalu. Bukan bertemu,
mungkin lebih tepatnya dia menemukanku yang tersesat di kota ini.
Segala hiruk pikuk kota membuatku lupa jalan pulang. Linglung. Dia
berbaik hati mengajakku ke rumahnya dan memberiku pekerjaan. Kami
selalu bersama sejak saat itu. Menghabiskan sisa-sisa usia kami yang
meranggas oleh waktu bersama-sama. Berdua. Mungkin tak berlebihan
jika aku memproklamirkan dirinya sebagai sahabat terbaikku.
Lihat saja perlakuannya padaku hari ini. Dia tak
mengajakku memeras keringat karena aku masih sakit. Seluruh badanku
rasanya remuk redam setelah enam bulan tak berhenti mengerahkan
kemampuanku agar kami bertahan hidup. Tiga hari kebelakang, dia
memang tak bekerja. Bukan apa-apa, mungkin dia enggan untuk melawan
arus Ibukota sendirian. Sendirian menghalau sengatan matahari di
siang bolong akan terasa lebih sulit, bukan? Jadi, dia lebih memilih
merawatku di rumah tiga hari ini.
Suatu malam pernah dia bercerita tentang episode hidup
yang dianggapnya sangat kelam. “Aku terlahir dari tong sampah.”
Dia hamburkan kata-kata itu sambil mengusap gerimis yang perlahan
membanjiri pipinya. “Aku ngga tau siapa ibuku, siapa bapakku.
Orangtuaku tong sampah, Mo!” Ingin sekali aku memeluknya manakala
tangisnya pecah. Tapi apa daya, tanganku tak dapat meraihnya.
Akhirnya, dia tertidur sangat pulas setelah selesai mengeluarkan lara
yang sekian lama tertanam di hatinya.
Jam enam sore dia
pulang dengan seulas senyum di wajahnya. Tangan kanannya masih
mendekap map merah yang di bawanya tadi pagi. Dan kini, tangan
kirinya pun membawa beberapa kantong kresek. Oalah,
itu makanan kesukaanku.
“Udah baikan, Mo?” dia mendekati tempat dimana aku
terbaring.
Aku mengangguk, kemudian merebut sesuatu di tangan
kanannya. Makanan kesukaanku.
Dia tertawa melihat tingkahku. “Kamu lapar, ya, Mo?”
Tak kupedulikan dia dengan tawanya. Yang menjadi
perhatianku kini adalah makanan di tanganku.
www.iniilmu.com |
Sudah lima hari dia melakukan kebiasaan yang sama.
Hari ini pun dia sudah bangun saat hari masih diringkus embun.
Mengenakan pakaian seperti yang dikenakannya kemarin. Sebelum
berangkat dia mendekatiku lagi.
“Kamu ngga perlu kerja lagi, Mo. Biar aku saja.”
Aku berontak. Kukatakan padanya jika aku ingin ikut
bersamanya. Aku sudah sembuh. Aku ingin seperti dulu, menghalau
sengatan matahari, memeras keringat, berdua bersamanya.
“Kamu di sini aja, ya, Mo. Jagain rumah.”
Dan dia sudah lebih dulu berlalu sebelum aku sempat
mengatakan padanya jika aku benar- ingin bekerja lagi.
Waktu terus berjalan dari detik ke detik. Sendirian di
rumah membuatku bosan. Maka kuputuskan untuk menyusulnya. Kubuka
pintu rumah, kuamati sekeliling, kemudian perlahan menyusuri jalanan
Ibukota untuk mencari sahabatku. Rizki. Bagus sekali bukan namanya?
Yah, dia memang rizki paling berharga yang Tuhan kirimkan untukku.
Jauh berjalan, tak
kutemukan dirinya. Telah kususuri tempat dimana kami biasa bekerja.
Tetap tak ada. Aku semakin putus asa setelah menyadari jika aku
lupa jalan pulang lagi. Aku menangis di pinggir jalan. Oh,
Tuhan pertemukanlah aku dengan Rizki.
Tiba-tiba..
“Kenapa kamu
di sini, Mo?”
Aku berlonjak demi mendengar suara itu. Suara Rizki.
Kuperlihatkan wajah piasku padanya.
“Kamu bosan?” Aku mengangguk cepat.
“Baiklah, bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu
sebelum pulang.”
***
Taman kota hingar bingar. Penuh sesak oleh manusia dan
segala kepentingannya. Aku dan Rizki duduk di bangku taman yang
dibuat serupa dengan sebatang pohon yang di belah dua. Di depan kami
tersaji kolam air mancur yang sangat cantik. Diam-diam aku menyukai
air-air yang berkilau tersorot lampu taman yang mulai dinyalakan.
“Mo, kamu tahu pekerjaan baruku?”
Aku menggeleng. Justru itu yang ingin kutanyakan
padanya. Dia mengangsurkan map merah yang selalu dibawanya. Kuamati
lekat-lekat map itu. Tak ada apa-apa kecuali tulisan besar, “
PROPOSAL PEMBANGUNAN MASJID AL IKHLAS”. Aku tercekat. Jadi?
“Jangan bilang kalau kau tak suka aku melakukannya,
Mo.”
Pandangannya lurus ke depan. Tepat pada air kemilau
yang menari-nari.
Dia melanjutkan lagi kata-katanya, “kau sudah
merasakan sendiri manfaatnya, bukan? Setiap hari kau bisa makan
makanan kesukaanmu. Uang yang aku dapatkan lebih besar dibandingkan
saat kita bekerja sama-sama.” Dia tersenyum ke arahku.
Puaaaah. Ingin sekali aku memuntahkan makanan yang
telah aku makan selama ini. Aku ngga mau makan barang haram. Air
mukaku berubah.
“Sudah lah, Mo. Kau jangan marah. Jangan bilang kalau
aku telah menipu orang-orang kaya itu. Mereka yang lebih dulu tak
mempedulikan kita, Mo.”
Aku bergeming. Mendengar perkataannya serupa tersambar
petir di siang bolong. Hatiku bergetar.
“Mereka di mana saat kita kelaparan? Duduk di
restoran mahal. Mereka di mana saat kita kedinginan? Tidur di kasur
empuk. Mereka seperti itu, Mo. Jadi, salahkah aku jika aku berusaha
mengambil hakku yang telah Tuhan titipkan pada mereka?”
Aku menggeleng. Tetap saja aku tak suka caranya. Sekali
haram tetap haram.
“Kau masih muda, Mo. Kau belum tahu apa-apa tentang
hidup.”
Tunggu! Apa katanya? Aku belum tahu tentang hidup? Enak
saja dia bicara seperti itu?
Aku memaku diriku di sampingnya. Entah kenapa, aku tak
bisa membenci dirinya meski aku pikir caranya kini sungguh
keterlaluan. Memakai nama masjid dan segala atribut orang muslim
untuk menipu orang. Memalukan.
“Kita pulang, Mo. Biarkan ini menjadi rahasia kita.
Kau jangan katakan pada siapa pun.” Dia mengacung-acungkan
telunjuknya di depan wajahku. Kujawab dengan tatapanku yang dingin.
***
Dia meringkuk di atas koran di sisi kanan rumah kardus
kami. Kuamati dirinya lekat-lekat. Garis-garis di wajahnya
menggambarkan betapa berat hidup yang harus dia lalui. Dia dibuang
ibunya di tong sampah ketika tubuhnya masih merah. Naas, dia
ditemukan seorang pengemis laki-laki yang sudah renta. Dia hidup di
tengah-tengah pengemis dan diajari menjadi pengemis sejak kecil.
Orangtua angkatnya meninggal semenjak usianya sembilan tahun, jadi
sudah delapan tahun dia sendirian di dunia ini. Tentunya sebelum dia
bertemu denganku.
Subuh belum utuh. Seperti biasa dia sudah bersiap untuk
'bekerja'. Dikenakannya lagi baju koko beserta sarung dan kopiah
putihnya. Tiba-tiba saja aku mual melihat penampilannya. Tak ubahnya
orang alim, tapi berhati..., ah, aku tak tega menyamakan sahabatku
dengan setan. Hidup yang keras lagi pahit ini perlahan telah
membusukkan hatiya.
Hari ini dia berlalu begitu saja tanpa menyapaku lebih
dulu. Tak ada lagi kata-kata, “Kamu di sini aja, ya, Mo. Jagain
rumah”. Dan tak ada lagi belaian lembutnya di kepalaku. Dia malah
mengikat kakiku. Mungkin dia takut aku kabur lagi. Dengan cara apa
aku menyadarkanmu, Ki?
Matahari sedang bertengger di puncak kuasanya saat ini.
Hawa panasnya telah mengundang berjuta peluh ditubuhku. Berkali-kali
kulap keringat itu. Berkali-kali juga keringat itu menyembul dari
pori-pori kulitku. Tiba-tiba saja hatiku bergemuruh hebat. Apa yang
terjadi dengan Rizki?
Brak! pintu reot rumah kami tiba-tiba saja dibuka. Tiga
orang berseragam polisi dan satu orang yang mengenakan kemeja masuk
dan mengobrak-abrik rumah kami.
“Periksa rumah ini! Siapa tahu masih ada barang bukti
yang tersisa!”
Perintah itu langsung disambut para ajudannya. “Siap
Komandan!”
Tidak! Tidak!
Aku meronta. Kenapa mereka mengacak-ngacak rumah kami?
Sebelum pertanyaanku semakin jauh Sang Komandan
berkata, “berani-beraninya dia menipuku! Mengaku mau bikin masjid.
Masjid nenek moyang loh!”
Kini terjawab sudah pertanyaanku. Rizki tertangkap.
Rupa-rupanya dia mengajukan proposal palsu pada seorang polisi.
Polisi itu memang mengenakan pakaian biasa, wajar saja jika Rizki
terkecoh. Malang sekali nasibmu, Ki.
“Komandan! Ternyatadia tukang topeng monyet.”
Telunjuk ajudan itu mengarah ke arahku dan
perlengkapaku untuk mengais rizki.
Kudengar dia tertawa.
“Biar dia kapok dipenjara!”
Ah, aku muak dengan adegan ini. Rizki saja mereka
tangkap, lantas para koruptor besar itu mereka biarkan bebas. Uang
yang Rizki curi tak seberapa.
“Ayo kita kembali ke kantor!” Sang Komandan
berteriak begitu mendapati banyak map merah di sebelah kandangku.
Aku histeris. Hey mau kemana kalian? Keluarkan aku
dulu! Aku ingin bertemu Rizki!
Waah, menarik nih cerpen.
BalasHapusPembangunan masjid berkedok penipuan.
Ada pelajaran yg bisa kita petik ya ukht ^^
Semoga cerpennya selalu menginspirasi.
Ditunggu cerpen selanjutnya yaa ^^
iya, jazakillah sudah mampir ukt :)
BalasHapusIdenya menarik :)
BalasHapusGak diikutkan lomba?
sudah pernah dikirim ke media, tapi belum memenuhi kriteria
Hapus