9 Maret 2013

Proposal Kehidupan (Sebuah Cerpen)

Berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini dia bangun saat hari masih diringkus embun. Gegas ke sumur di belakang rumah, kemudian membersihkan badannya. Tumben, pikirku. Namun ada yang berbeda dengan pakaiannya kini, tak ada lagi kaos oblong lusuh dan jeans belelnya. Dia mengenakan baju koko lengkap dengan sarung dan peci putihnya. Apakah dia benar-benar sudah tobat? Kuamati lekat-lekat penampilan sahabatku itu. Hendak kemana dia dengan dandanan seperi itu? Mesjid? Kemarin dia masih pulang dengan mulut bau alkohol. Apakah manusia bisa berubah secepat itu? Ah, entahlah. Dan seketika, pikiran-pikiranku tentangnya buyar saat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“Hari ini kamu ngga usah ikut kerja, di rumah aja, ya? Kamu kan masih sakit.” Lantas dia mengacak-ngacak kepalaku kemudian berlalu setelah menyambar map-map merah di atas meja. Pagi ini dia sukses membuatku penasaran dengan apa yang akan dilakukannya.
Aku bertemu dengannya enam bulan lalu. Bukan bertemu, mungkin lebih tepatnya dia menemukanku yang tersesat di kota ini. Segala hiruk pikuk kota membuatku lupa jalan pulang. Linglung. Dia berbaik hati mengajakku ke rumahnya dan memberiku pekerjaan. Kami selalu bersama sejak saat itu. Menghabiskan sisa-sisa usia kami yang meranggas oleh waktu bersama-sama. Berdua. Mungkin tak berlebihan jika aku memproklamirkan dirinya sebagai sahabat terbaikku.
Lihat saja perlakuannya padaku hari ini. Dia tak mengajakku memeras keringat karena aku masih sakit. Seluruh badanku rasanya remuk redam setelah enam bulan tak berhenti mengerahkan kemampuanku agar kami bertahan hidup. Tiga hari kebelakang, dia memang tak bekerja. Bukan apa-apa, mungkin dia enggan untuk melawan arus Ibukota sendirian. Sendirian menghalau sengatan matahari di siang bolong akan terasa lebih sulit, bukan? Jadi, dia lebih memilih merawatku di rumah tiga hari ini.
Suatu malam pernah dia bercerita tentang episode hidup yang dianggapnya sangat kelam. “Aku terlahir dari tong sampah.” Dia hamburkan kata-kata itu sambil mengusap gerimis yang perlahan membanjiri pipinya. “Aku ngga tau siapa ibuku, siapa bapakku. Orangtuaku tong sampah, Mo!” Ingin sekali aku memeluknya manakala tangisnya pecah. Tapi apa daya, tanganku tak dapat meraihnya. Akhirnya, dia tertidur sangat pulas setelah selesai mengeluarkan lara yang sekian lama tertanam di hatinya.

Jam enam sore dia pulang dengan seulas senyum di wajahnya. Tangan kanannya masih mendekap map merah yang di bawanya tadi pagi. Dan kini, tangan kirinya pun membawa beberapa kantong kresek. Oalah, itu makanan kesukaanku.
“Udah baikan, Mo?” dia mendekati tempat dimana aku terbaring.
Aku mengangguk, kemudian merebut sesuatu di tangan kanannya. Makanan kesukaanku.
Dia tertawa melihat tingkahku. “Kamu lapar, ya, Mo?”
Tak kupedulikan dia dengan tawanya. Yang menjadi perhatianku kini adalah makanan di tanganku.

www.iniilmu.com
Sudah lima hari dia melakukan kebiasaan yang sama. Hari ini pun dia sudah bangun saat hari masih diringkus embun. Mengenakan pakaian seperti yang dikenakannya kemarin. Sebelum berangkat dia mendekatiku lagi.
“Kamu ngga perlu kerja lagi, Mo. Biar aku saja.”
Aku berontak. Kukatakan padanya jika aku ingin ikut bersamanya. Aku sudah sembuh. Aku ingin seperti dulu, menghalau sengatan matahari, memeras keringat, berdua bersamanya.
“Kamu di sini aja, ya, Mo. Jagain rumah.”
Dan dia sudah lebih dulu berlalu sebelum aku sempat mengatakan padanya jika aku benar- ingin bekerja lagi.
Waktu terus berjalan dari detik ke detik. Sendirian di rumah membuatku bosan. Maka kuputuskan untuk menyusulnya. Kubuka pintu rumah, kuamati sekeliling, kemudian perlahan menyusuri jalanan Ibukota untuk mencari sahabatku. Rizki. Bagus sekali bukan namanya? Yah, dia memang rizki paling berharga yang Tuhan kirimkan untukku.
Jauh berjalan, tak kutemukan dirinya. Telah kususuri tempat dimana kami biasa bekerja. Tetap tak ada. Aku semakin putus asa setelah menyadari jika aku lupa jalan pulang lagi. Aku menangis di pinggir jalan. Oh, Tuhan pertemukanlah aku dengan Rizki.
Tiba-tiba..
“Kenapa kamu di sini, Mo?”
Aku berlonjak demi mendengar suara itu. Suara Rizki. Kuperlihatkan wajah piasku padanya.
“Kamu bosan?” Aku mengangguk cepat.
“Baiklah, bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu sebelum pulang.”

***

Taman kota hingar bingar. Penuh sesak oleh manusia dan segala kepentingannya. Aku dan Rizki duduk di bangku taman yang dibuat serupa dengan sebatang pohon yang di belah dua. Di depan kami tersaji kolam air mancur yang sangat cantik. Diam-diam aku menyukai air-air yang berkilau tersorot lampu taman yang mulai dinyalakan.
“Mo, kamu tahu pekerjaan baruku?”
Aku menggeleng. Justru itu yang ingin kutanyakan padanya. Dia mengangsurkan map merah yang selalu dibawanya. Kuamati lekat-lekat map itu. Tak ada apa-apa kecuali tulisan besar, “ PROPOSAL PEMBANGUNAN MASJID AL IKHLAS”. Aku tercekat. Jadi?
“Jangan bilang kalau kau tak suka aku melakukannya, Mo.”
Pandangannya lurus ke depan. Tepat pada air kemilau yang menari-nari.
Dia melanjutkan lagi kata-katanya, “kau sudah merasakan sendiri manfaatnya, bukan? Setiap hari kau bisa makan makanan kesukaanmu. Uang yang aku dapatkan lebih besar dibandingkan saat kita bekerja sama-sama.” Dia tersenyum ke arahku.
Puaaaah. Ingin sekali aku memuntahkan makanan yang telah aku makan selama ini. Aku ngga mau makan barang haram. Air mukaku berubah.
“Sudah lah, Mo. Kau jangan marah. Jangan bilang kalau aku telah menipu orang-orang kaya itu. Mereka yang lebih dulu tak mempedulikan kita, Mo.”
Aku bergeming. Mendengar perkataannya serupa tersambar petir di siang bolong. Hatiku bergetar.
“Mereka di mana saat kita kelaparan? Duduk di restoran mahal. Mereka di mana saat kita kedinginan? Tidur di kasur empuk. Mereka seperti itu, Mo. Jadi, salahkah aku jika aku berusaha mengambil hakku yang telah Tuhan titipkan pada mereka?”
Aku menggeleng. Tetap saja aku tak suka caranya. Sekali haram tetap haram.
“Kau masih muda, Mo. Kau belum tahu apa-apa tentang hidup.”
Tunggu! Apa katanya? Aku belum tahu tentang hidup? Enak saja dia bicara seperti itu?
Aku memaku diriku di sampingnya. Entah kenapa, aku tak bisa membenci dirinya meski aku pikir caranya kini sungguh keterlaluan. Memakai nama masjid dan segala atribut orang muslim untuk menipu orang. Memalukan.
“Kita pulang, Mo. Biarkan ini menjadi rahasia kita. Kau jangan katakan pada siapa pun.” Dia mengacung-acungkan telunjuknya di depan wajahku. Kujawab dengan tatapanku yang dingin.

***

Dia meringkuk di atas koran di sisi kanan rumah kardus kami. Kuamati dirinya lekat-lekat. Garis-garis di wajahnya menggambarkan betapa berat hidup yang harus dia lalui. Dia dibuang ibunya di tong sampah ketika tubuhnya masih merah. Naas, dia ditemukan seorang pengemis laki-laki yang sudah renta. Dia hidup di tengah-tengah pengemis dan diajari menjadi pengemis sejak kecil. Orangtua angkatnya meninggal semenjak usianya sembilan tahun, jadi sudah delapan tahun dia sendirian di dunia ini. Tentunya sebelum dia bertemu denganku.

Subuh belum utuh. Seperti biasa dia sudah bersiap untuk 'bekerja'. Dikenakannya lagi baju koko beserta sarung dan kopiah putihnya. Tiba-tiba saja aku mual melihat penampilannya. Tak ubahnya orang alim, tapi berhati..., ah, aku tak tega menyamakan sahabatku dengan setan. Hidup yang keras lagi pahit ini perlahan telah membusukkan hatiya.
Hari ini dia berlalu begitu saja tanpa menyapaku lebih dulu. Tak ada lagi kata-kata, “Kamu di sini aja, ya, Mo. Jagain rumah”. Dan tak ada lagi belaian lembutnya di kepalaku. Dia malah mengikat kakiku. Mungkin dia takut aku kabur lagi. Dengan cara apa aku menyadarkanmu, Ki?

Matahari sedang bertengger di puncak kuasanya saat ini. Hawa panasnya telah mengundang berjuta peluh ditubuhku. Berkali-kali kulap keringat itu. Berkali-kali juga keringat itu menyembul dari pori-pori kulitku. Tiba-tiba saja hatiku bergemuruh hebat. Apa yang terjadi dengan Rizki?
Brak! pintu reot rumah kami tiba-tiba saja dibuka. Tiga orang berseragam polisi dan satu orang yang mengenakan kemeja masuk dan mengobrak-abrik rumah kami.
“Periksa rumah ini! Siapa tahu masih ada barang bukti yang tersisa!”
Perintah itu langsung disambut para ajudannya. “Siap Komandan!”
Tidak! Tidak!
Aku meronta. Kenapa mereka mengacak-ngacak rumah kami?
Sebelum pertanyaanku semakin jauh Sang Komandan berkata, “berani-beraninya dia menipuku! Mengaku mau bikin masjid. Masjid nenek moyang loh!”
Kini terjawab sudah pertanyaanku. Rizki tertangkap. Rupa-rupanya dia mengajukan proposal palsu pada seorang polisi. Polisi itu memang mengenakan pakaian biasa, wajar saja jika Rizki terkecoh. Malang sekali nasibmu, Ki.
“Komandan! Ternyatadia tukang topeng monyet.”
Telunjuk ajudan itu mengarah ke arahku dan perlengkapaku untuk mengais rizki.
Kudengar dia tertawa.
“Biar dia kapok dipenjara!”
Ah, aku muak dengan adegan ini. Rizki saja mereka tangkap, lantas para koruptor besar itu mereka biarkan bebas. Uang yang Rizki curi tak seberapa.
“Ayo kita kembali ke kantor!” Sang Komandan berteriak begitu mendapati banyak map merah di sebelah kandangku.
Aku histeris. Hey mau kemana kalian? Keluarkan aku dulu! Aku ingin bertemu Rizki!

4 komentar:

  1. Waah, menarik nih cerpen.
    Pembangunan masjid berkedok penipuan.
    Ada pelajaran yg bisa kita petik ya ukht ^^

    Semoga cerpennya selalu menginspirasi.
    Ditunggu cerpen selanjutnya yaa ^^

    BalasHapus
  2. iya, jazakillah sudah mampir ukt :)

    BalasHapus
  3. Idenya menarik :)
    Gak diikutkan lomba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah pernah dikirim ke media, tapi belum memenuhi kriteria

      Hapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming