Weaning With Love
atau menyapih dengan cinta, santer dibicarakan di forum-forum
parenting. Membaca tujuannya, saya pun mantap untuk melakukan metode
ini untuk menyapih Khoiry. Menyapih dengan paksaan seperti yang kerap
dilakukan orangtua dulu katanya bisa menganggu psikologis anak kelak.
Karena melakukan tipuan dengan membuat puting ibu seolah-olah luka
dengan mengoleskan betadin, atau menambahkan zat-zat yang bisa
memberi rasa pahit pada puting bisa menimbulkan luka batin yang akan
merusak hubungan ibu dan anak. Weaning with Love atau WWL bertujuan
agar hubungan baik antara ibu dan anak yang sudah terjalin selama
proses menyusui tidak rusak begitu saja ketika anak disapih. WWL
membuat anak tidak menyusu lagi sesuai dengan keinginannya. Caranya
adalah dengan,
1. Terus menerus
memberikan pengertian pada si anak bahwa dia tidak boleh menyusu
lagi, tentunya dengan cara yang baik dan bahasa yang bisa dimengerti
anak-anak.
2. Mengalihkan
keinginan menyusu si anak pada hal lain atau kegiatan lain, seperti
mengajaknya bermain atau menawarinya minum air putih atau susu.
manyun tapi manis |
Khoiry Solihah |
Sampai saat ini WWL
yang saya lakukan belum berhasil. *guling-guling di lantai. Ternyata
proses ini memerlukan kesabaran yang luar biasa. Biasanya saya
memberikan dia pengertian tentang berhenti menyusui ketika menjelang
tidur. Begitu Khoiry minta enen, biasanya saya langsung bilang,
“Dede kan udah
gede. Kalau udah gede nggak nenen lagi ya? Tuh kakinya udah panjang,
tangannya udah panjang” Biasanya perhatiannya sedikit teralihkan
kemudian dia sibuk mengangkat kakinya tinggi-tinggi sambil ketawa.
“Heueuh,”
katanya.
Tapi beberapa saat
kemudian, “Nenen, Mi!” *Gubrak!! Merajuk-rajuk lagi, malah
semakin ekstrim dengan menarik kerah baju Umminya.
“Ih, katanya udah
gede? Nenennya buat dede bayi aja ya?” Saya belum nyerah.
“Entong!”
jawabnya ketus. Maksudnya nggak boleh.
“Nanti dede
bayinya nenen sama siapa dong?”
“Sama Dede!”
jawabnya bangga sambil buka-buka baju liatin payudaranya.
*alamaaaa. Ini
emanya yang kurang ide atau anaknya kepinteran yaa?
Sampai di sini saya
nyerah dulu. Mungkin besok si kecil bisa mengerti.
Kalau siang,
sebenarnya Khoiry udah nggak pernah minta enen. Sibuk main dan
gampang dialihkan pada hal lain. Tapi kalau mau tidur, duh! Emaknya
tepok jidat. Digendong nggak mau, dikepok-kepok nggak mau, sambil
dengerin murotal nggak mau, sama Abi nggak mau. Pengennya sama Ummi
saja. Kalau Khoiry sudah nangis, biasanya saya juga lumer. Nggak tega
lihat dia nangis karena pengen enen. Padahal ASI saya semakin
berkurang semenjak hamil. Tapi Khoiry teteeeeeep aja mau enen.
Beberapa malam ,
Khoiry sukses tidur sendiri ditemenin Abi. Begitu udah kelihatan
ngantuk, saya ngacir ke kamar mandi, wudhu, kemudian shalat isya. Pas
selesai shalat, dia sudah pules saja. Tapi akhir-akhir ini, -seiring
dengan bertambah besarnya perut saya- Khoiry maunya nempel terus.
Nggak mau jauh-jauh sama Ummi. Main pun harus sama Ummi. Apa-apa
Ummi. Siang hari, entah berapa kali dia minta enen. Apalagi, memasuki
usia kandungan 8 bulan, ASI saya sudah mulai keluar lagi. Jadi tambah
nempel dia.
Akhir-akhir ini, yang membuat saya
galau adalah orangtua yang mulai mendesak saya untuk menyapih Khoiry.
Bukan tanpa alasan sih, karena saat ini usia Khoiry memang sudah
genap 2 tahun dan kehamilan saya semakin besar. Dengan sangat
terpaksa saya melakukan adegan tipu-menipu agar Khoiry berhenti
enen. Tapi cara itu nggak ada yang berhasil. Pertama, saya coba
mengoleskan bubuk biji mahoni yang agak paiht di puting. Begitu enen,
Khoiry berhenti sejenak karena merasakan ada rasa yang berbeda, tapi
tak berapa lama dia melanjutkan lagi enenya. *haduh ini anak kok
tahan ya? Melihat Khoiry kepaitan, saya nangis bombay karena merasa
telah menzholimi anak sendiri. Kata ibu saya, bubuk biji mahoni
memang tidak terlalu pahit dan lama kelamaan rasa pahitnya bisa
hilang.
Kali kedua, saya
mengolesi putting dengan lipstik. Pura-puranya berdarah. Begitu
melihat puting saya merah, Khoiry nangis sambil lari ke lemari
nunjuk-nunjuk tas kecil tempat obat-obatan. Sambil nangis dia bilang,
“Mi, obatin! Mi, obatin!” Cara kedua juga gagal. Khoiry sudah
mengerti kalau ada anggota tubuh yang luka, ya harus di beri obat.
Kali ketiga, saya
menempelkan plester di puting saya. Tapi dengan entengnya dia membuka
plester itu kemudian enen dengan lahapnya. “Ini apa, Mi?” katanya
dengan cuek.
Setelah kali ketiga
ini, saya tobat. Tidak mau lagi menyapih Khoiry dengan cara-cara yang
aneh. Saya kembali melakukan WWL walaupun saya tahu prosesnya akan
sangat memakan waktu. Dengan berdoa memohon kekuatan dan kemudahan
kepada Al Aziz, mudah-mudahan, pas adiknya lahir, Khoiry sudah nggak
mau enen lagi.
Cara yang lembut dan bijak adalah yang terbaik ya mbak, hanya kita seringkali kurang sabar :)
BalasHapus