Sebenarnya
ingin sekali memposting tulisan ini pada tanggal 1 kemarin, tapi apa
daya, kondisi yang tak memungkinkan mengharuskan tulisan ini menginap
di draft beberapa lama. Tapi ya sudahlah! Semoga rasanya tetap sama
meski diposting hari ini.
Emang
tanggal 1 April itu hari apa sih?
Tanggal
1 April adalah tanggal dimana saya dan suami menikah. Tepatnya empat
tahun yang lalu. Hah! Benar-benar tak terasa, ternyata perjalanan
kami sudah sampai di titik ini. Tak ada perayaan, tak ada kue atau
pun lilin, yang ada hanya sebait doa, semoga kami berdua bisa
tetap bergandengan tangan hingga kaki kami menginjak surga. Tahun
kedua dan ketiga, tak ada tulisan seperti ini, tapi tahun ini saya
menyempatkan diri menuliskan apa yang saya rasakan untuk suami saya.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi kado yang indah untuknya. Atau
mungkin karena kondisi kami yang berjauhan yang membuat saya begitu
rindu dan dengan mudahnya membuat tulisan ini.
Ketika
masih gadis *lah, berasa tua banget. Saya memimpikan untuk menikah di
hari jumat bulan Ramadhan dengan resepsi yang sederhana, ya sederhana
saja, hanya keluarga dan sahabat-sahabat yang datang. Tapi sayangnya,
tak semua mimpi itu terwujud. Saya dan suami tidak menikah di bulan
Ramadhan. Suami melamar jauh sebelum ramadhan. Kalau ditunggu sampai
ramadhan, duh kelamaan kayaknya! Tapi, alhamdulillah, saya bisa
menikah di hari jumat dengan sebuah acara pernikahan yang sederhana.
Kenapa harus hari jumat? Karena bagi umat islam hari jumat adalah
hari terbaik, dan saya ingin menikah di hari terbaik itu. Kenapa
harus sederhana? Karena rasanya lebih khidmat. Tak ada hingar bingar.
Ketika kami menikah pun, tak ada tamu lagi setelah jam 2 siang. Kami
bisa beristirahat sejenak sebelum bada asharnya mengundang ibu-ibu
untuk melaksanakan pengajian di rumah. Mendoakan pernikahan kami agar
diberkahi Allah SWT.
Jika
diibaratkan manusia, 4 tahun adalah golden age dimana manusia
mulai mengumpulkan ilmu dan belajar banyak hal sebagai bekal di
kehidupan mendatang. Di usia golden age ini pula, karakter
seorang individu akan terbentuk untuk pertama kali. Akan seperti apa
ketika dia besar nanti, tergantung bagaimana orangtuanya membentuk
dan mendidiknya saat ini.
Kami
berdua pun seperti itu, sampai saat ini kami masih sering
meraba-meraba untuk menyelesaikan problem yang terkadang timbul.
Belajar dari orangtua kami bagaimana caranya mencintai dan berbagi di
segala kondisi. Contoh yang baik kami ambil dan contoh yang buruk
kami jadikan pelajaran. Mudah-mudahan usia golden age-nya
pernikahan kami adalah bentangan usia yang menghantarkan SaMaRa bagi
rumah tangga kami.
Tahun
ini, banyak sekali kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi. Dari
mulai keputusan suami untuk resign dari kantornya, pulang kampung ke
Sumedang, membangun usaha sendiri, usaha kami yang belum berhasil,
kelahiran buah hati kami yang kedua, hingga perjuangan untuk tetap
yakin dengan pertolongan Allah ketika tinggal angin yang ada dalam
dompet kami. Kalau diingat-ingat sekarang, lucu juga pengalaman kami.
Dengan modal nekat suami keluar dari kantor dan dengan brand
Doyan Creative, dia membangun bisnis kreatif di bidang aplikasi
dan game untuk smartphone. Tapi Allah masih ingin melihat kami sabar
dan mendengar doa-doa kami, hingga sampai saat ini hasilnya belum
memuaskan. Dan terpaksa suami harus mencari kerja lagi untuk
menafkahi kami sekeluarga. Allah menolong kami, tak butuh waktu lama
suami diterima bekerja di sebuah perusahaan di Bandung.
Bagi
saya, suami adalah sosok laki-laki yang baik. Dia bisa menjadi imam
bagi saya dan bagi anak-anak. Banyak sekali ilmu dan pelajaran yang saya dapatkan darinya. Dia sosok yang pendiam dan cenderung
kaku. Tapi dia adalah sosok yang pandai menyampaikan perasannya lewat
perbuatan. Selama menikah, jarang sekali dia mengatakan kata I
Love You dan sejenisnya. Tapi dia akan menangis ketika saya
menangis kesakitan, dia juga rela menghandle semua tugas-tugas saya
di rumah ketika saya sakit, merawat anak-anak, dan membuatkan nasi
goreng atau menyeduhkan susu untuk saya dan anak-anak.
Selama
4 tahun menikah, belum pernah sekali pun dia marah. Bila saya salah,
dia akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara dan mengingatkan.
Dia bukan suami yang senang memerintah,
“mi,
bikinin kopi dong!”
“Mi,
ambil anu dong!”
“Mi,
pijitin!”
Ah!
jarang sekali saya mendengar kata-kata seperti itu darinya. Ketika
dia menginginkan sesuatu, selagi dia mampu, dia pasti melakukannya
sendiri.
Tak
banyak yang bisa saya tulis tentang suami, takut banyak yang naksir.
:)
Intinya,
semoga pernikahan kami bisa menjadi kendaraan bagi kami untuk sampai
di jannah-Nya.
bersandar di bahunya dan mendengarnya membaca perkataan Ilahi adalah hal yang menenangkan.. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming