16 April 2015

Empat Tahun Bersamanya

Sebenarnya ingin sekali memposting tulisan ini pada tanggal 1 kemarin, tapi apa daya, kondisi yang tak memungkinkan mengharuskan tulisan ini menginap di draft beberapa lama. Tapi ya sudahlah! Semoga rasanya tetap sama meski diposting hari ini.

Emang tanggal 1 April itu hari apa sih?
Tanggal 1 April adalah tanggal dimana saya dan suami menikah. Tepatnya empat tahun yang lalu. Hah! Benar-benar tak terasa, ternyata perjalanan kami sudah sampai di titik ini. Tak ada perayaan, tak ada kue atau pun lilin, yang ada hanya sebait doa, semoga kami berdua bisa tetap bergandengan tangan hingga kaki kami menginjak surga. Tahun kedua dan ketiga, tak ada tulisan seperti ini, tapi tahun ini saya menyempatkan diri menuliskan apa yang saya rasakan untuk suami saya. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi kado yang indah untuknya. Atau mungkin karena kondisi kami yang berjauhan yang membuat saya begitu rindu dan dengan mudahnya membuat tulisan ini.

Ketika masih gadis *lah, berasa tua banget. Saya memimpikan untuk menikah di hari jumat bulan Ramadhan dengan resepsi yang sederhana, ya sederhana saja, hanya keluarga dan sahabat-sahabat yang datang. Tapi sayangnya, tak semua mimpi itu terwujud. Saya dan suami tidak menikah di bulan Ramadhan. Suami melamar jauh sebelum ramadhan. Kalau ditunggu sampai ramadhan, duh kelamaan kayaknya! Tapi, alhamdulillah, saya bisa menikah di hari jumat dengan sebuah acara pernikahan yang sederhana. Kenapa harus hari jumat? Karena bagi umat islam hari jumat adalah hari terbaik, dan saya ingin menikah di hari terbaik itu. Kenapa harus sederhana? Karena rasanya lebih khidmat. Tak ada hingar bingar. Ketika kami menikah pun, tak ada tamu lagi setelah jam 2 siang. Kami bisa beristirahat sejenak sebelum bada asharnya mengundang ibu-ibu untuk melaksanakan pengajian di rumah. Mendoakan pernikahan kami agar diberkahi Allah SWT.

Jika diibaratkan manusia, 4 tahun adalah golden age dimana manusia mulai mengumpulkan ilmu dan belajar banyak hal sebagai bekal di kehidupan mendatang. Di usia golden age ini pula, karakter seorang individu akan terbentuk untuk pertama kali. Akan seperti apa ketika dia besar nanti, tergantung bagaimana orangtuanya membentuk dan mendidiknya saat ini.

Kami berdua pun seperti itu, sampai saat ini kami masih sering meraba-meraba untuk menyelesaikan problem yang terkadang timbul. Belajar dari orangtua kami bagaimana caranya mencintai dan berbagi di segala kondisi. Contoh yang baik kami ambil dan contoh yang buruk kami jadikan pelajaran. Mudah-mudahan usia golden age-nya pernikahan kami adalah bentangan usia yang menghantarkan SaMaRa bagi rumah tangga kami.

Tahun ini, banyak sekali kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi. Dari mulai keputusan suami untuk resign dari kantornya, pulang kampung ke Sumedang, membangun usaha sendiri, usaha kami yang belum berhasil, kelahiran buah hati kami yang kedua, hingga perjuangan untuk tetap yakin dengan pertolongan Allah ketika tinggal angin yang ada dalam dompet kami. Kalau diingat-ingat sekarang, lucu juga pengalaman kami. Dengan modal nekat suami keluar dari kantor dan dengan brand Doyan Creative, dia membangun bisnis kreatif di bidang aplikasi dan game untuk smartphone. Tapi Allah masih ingin melihat kami sabar dan mendengar doa-doa kami, hingga sampai saat ini hasilnya belum memuaskan. Dan terpaksa suami harus mencari kerja lagi untuk menafkahi kami sekeluarga. Allah menolong kami, tak butuh waktu lama suami diterima bekerja di sebuah perusahaan di Bandung.

Bagi saya, suami adalah sosok laki-laki yang baik. Dia bisa menjadi imam bagi saya dan bagi anak-anak. Banyak sekali ilmu dan pelajaran yang saya dapatkan darinya. Dia sosok yang pendiam dan cenderung kaku. Tapi dia adalah sosok yang pandai menyampaikan perasannya lewat perbuatan. Selama menikah, jarang sekali dia mengatakan kata I Love You dan sejenisnya. Tapi dia akan menangis ketika saya menangis kesakitan, dia juga rela menghandle semua tugas-tugas saya di rumah ketika saya sakit, merawat anak-anak, dan membuatkan nasi goreng atau menyeduhkan susu untuk saya dan anak-anak.

Selama 4 tahun menikah, belum pernah sekali pun dia marah. Bila saya salah, dia akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara dan mengingatkan. Dia bukan suami yang senang memerintah,
“mi, bikinin kopi dong!”
“Mi, ambil anu dong!”
“Mi, pijitin!”
Ah! jarang sekali saya mendengar kata-kata seperti itu darinya. Ketika dia menginginkan sesuatu, selagi dia mampu, dia pasti melakukannya sendiri.

Tak banyak yang bisa saya tulis tentang suami, takut banyak yang naksir. :)
Intinya, semoga pernikahan kami bisa menjadi kendaraan bagi kami untuk sampai di jannah-Nya.

bersandar di bahunya dan mendengarnya membaca perkataan Ilahi adalah hal yang menenangkan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming