Beberapa tahun terakhir, gaung kata syariah semakin
santer terdengar. Tak sedikit ormas islam yang secara kontinu
mendakwahkan dan menyadarkan umat akan urgensi penerapan syariah
islam secara sempurna dalam setiap lini kehidupan. Hasilnya beberapa
lembaga mulai melirik syariah islam sebagai alternaif lain untuk
sistem kelembagaan mereka. Perbankan syariah, asuransi syariah,
pendidikan berbasis syariah islam, menjamur bak panyung di musim
penghujan. Termasuk di Kabupaten Sumedang. Sayangnya, sistem syariah
yang diterapkan masih samar dan hal ini tidak dibarengi dengan
kesadaran total untuk merubah seluruh sistem. Saat ini penerapan
syariah islam masih bersifat parsial, belum merata pada seluruh
aspek, termasuk kesehatan, sosial, hukum, dan pemerintahan.
Menerapkan syariah islam secara
sempurna artinya, menjadikan islam sebagai satu-satunya sumber hukum
pada seluruh aspek kehidupan. Dewasa ini, banyak umat islam yang
memandang bahwa syariat islam hanya sebatas shalat, puasa, zakat, dan
naik haji. Padahal islam pun mengatur aspek
mua’amalah seperti ekonomi, pemerintahan, pendidikan, sistem
sosial,sanksi pidana dll.Ketika
digaungkan akan pentingnya penerapan syariah islam secara sempurna
banyak pihak yang menyangsikan efektifitas dari diberlakukannya
syari’at Islam itu sendiri. Penentangan yang sangat lumrah datang
tentu saja dari umat di luar Islam yang merasa khawatir akan
‘terzhalimi’ setelah syariah islam itu diberlakukan. Namun
penentangan yang keras justru timbul dari tubuh umat Islam sendiri
yang lebih berkiblat kepada akal dan hawa-nafsu semata. Mereka
beranggapan dengan tidak diberlakukan syariah secara sempurna, toh
mereka masih bisa
melaksanakan shalat, zakat, puasa dan pergi haji tanpa ada gangguan.
Sumedang bersyariah? Why not?
Sejarah mencatat bahwa raja-raja di
Sumedanglah yang memegang peranan penting bagi tersebarnya agama
islam di Sumedang. Agama islam mulai tersebar di Sumedang setelah
Ratu Pucuk Umun seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang Larang
kuno menikahi Pangeran
Santri
(1505-1579 M) yang bergelar Ki
Gedeng Sumedang dan
memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran
Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri
mengembangkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan sosial dan
budaya. Islam diperkenalkan
Pangeran Santri kepada penduduk Sumedang Larang secara damai, tanpa
kekerasan, pertumpahan darah maupun peperangan. Seluruh masyarakat
Sumedang dapat merasakan benar-benar akan sejuknya Islam yang
rahmatan lil alamiin, sehingga tidak sedikit dari mereka yang
akhirnya menganut agama Islam Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu
Pucuk Umun ini melahirkan Prabu
Geusan Ulun
atau dikenal dengan Prabu
Angkawijaya.
Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun lah Sumedang
mencapai puncak kejayaannya.
Pada fase ini Sumedang Larang mengalami kemajuan yang
pesat, terutama dalam bidang sastra, agama dan budaya. Selain itu,
kerajaan Sumedang menjadi penerus kerajaan Pajajaran dimasa
kepemimpinan Prabu Geusan Ulun. Runtuhnya Pajajaran tersebut pada
tanggal 14 shafar tahun Jim Akhir 1579 bertepatan dengan tanggal 22
April 1579. Tanggal inilah yang dijadikan dasar penentuan Hari Jadi
Sumedang.
Pada tahun 2015,
kabupaten Sumedang genap berusia 437
tahun. Bukan termasuk usia remaja
lagi bagi perkembangan sebuah daerah atau kota. Di usianya yang tak
lagi muda, Sumedang sudah mulai menampakkan eksistensinya. Hal ini
ditandai dengan dilakukannya pembangunan secara terus menerus di
segala bidang.
Berabad-abad silam, Sumedang pernah berjaya ketika
islam dijadikan sebagai sumber hukum. Akan tetapi bagaimana wajah
Sumedang saat ini ketika aturan islam dicampakan?
Dari segi moral, masyarakat Sumedang bergerak menuju
kebobrokan. Beberapa waktu lalu masyarakat heboh dengan digrebeknya
rumah kos-kosan di daerah karapyak karena dijadikan tempat
prostitusi. (TribunJabar)
Pada tahun 2012, berdasarkan hasil Bulan Penimbangan
Balita (BPB) Tahun 2011, angka prevalensi balita kurang gizi di
Sumedang masih mencapai 9.64 % mendekati ambang batas masalah gizi
masyarakat yaitu sebesar 10 persen. (Sumedangonline.com) Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di
Sumedang masih terbilang rendah.
Masalah lingkungan di Sumedang juga semakin
memprihantinkan. Beberapa bulan terakhir, taman endog, sebagai sarana
rekreasi di tengah kota telah dipenuhi dengan jongko-jongko para
pedagang kaki lima. Hal ini tentu saja membuat tata kota Sumedang
semakin semrawut. Selain itu masalah tambang galian pasir di kaki
gunung tampomas jelas merupakan eksploitasi berlebihan yang bisa
merusak keseimbangan alam.
Meski dari segi ekonomi Sumedang diprediksi akan
mengalami kenaikan dengan adanya proyek pembangunan waduk jatigede,
bandara kertajati, dan pembangunan tol cisumdawu, nyatanya
pembangunan ini tidak disertai dengan pertimbangan akan keseimbangan
alam hingga banyak lahan-lahan produktif yang ikut tergusur. Dan hal
yang umum terjadi pada pembebasan lahan untuk pembangunan
infrastruktur adalah tidak ada peraturan yang jelas mengenai
pembebasan lahan tersebut.
Sebagai seorang muslim tentu kita harus meyakini bahwa semua
kekacauan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah akibat dari
tidak diterapkannya aturan Sang Pencipta. Disamping adanya jaminan
akan kesejahteraan ketika diterapkan syariah islam secara sempurna,
penerapkan syariah islam hukumnya fardu 'ain bagi setiap muslim.
Karena dari itu mari sama-sama kita wujudkan Sumedang bersyariah
sesuai dengan salah satu visi Sumedang pada tahun 2018. Sumedang
Senyum Manis (Sejahtera-Nyunda-Maju-Mandiri-Agamis)
Agamis adalah sikap dan prilaku hidup masyarakat Kabupaten Sumedang
yang mencerminkan dan mereplesikan nilai-nilai agama dan diyakininya.
Itu artinya Sumedang bertekad untuk menerapkan syariah islam secara
sempurna.
"Maka
demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka bertahkim kepadamu
dalam segala perselisihan di antara
mereka. Kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hatinya menerima hukummu (putusanmu) dan mereka
sepenuhnya menyerah kepadamu” (QS.An-Nisa:
65)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming