21 Maret 2016

Kapan Waktu Ideal Untuk Menikah


credit

 Tak ada yang percaya ketika pemuda 19 tahun ini menyatakan keinginannya untuk menikah. Semua menolak. Semua keluarga menyangsikan keinginannya. Bukan tanpa alasan. Usianya yang masih muda dan belum memiliki pekerjaan tetaplah yang membuat kami ragu. Pernikahan bukan hal main-main. Butuh persiapan mental, ilmu, dan financial yang tak sedikit.



Dalam islam, pernikahan disebut dengan mitsaqan ghaliza, artinya perjanjian yang tinggi, kukuh, kuat. Perjanjian yang namanya demikian hanya ditemui tiga kali dalam Al-Qur’an. Pertama, yakni menyangkut perjanjian antara suami-istri, dan dua sisanya menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7) dan perjanjianNya dengan umatNya dalam konteks melaksanakan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154).Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa menikah adalah menyempurnakan separuh agama. Islam sendiri menempatkan pernikahan dalam derajat ibadah yang tinggi. Tentu saja tanggung jawab dan kewajiban-kewajiban yang harus dipikul setiap individu setelah menikah pun tak main-main. Karena itu, kami meminta pemuda 19 tahun ini untuk memikirkan kembali keputusannya.




Beragam kata rayuan sudah diluncurkan, namun dia tetap tak bergeming. Bahkan jawabannya yang membuat kami tergugu.



“Apa tak ingin main-main dulu? Mumpung masih muda!”

“Emang hidup untuk main-main,” jawabnya lantang.



“Emang tujuannya nikah untuk apa?”

“Ibadah. Jaga diri” katanya.



Singkat kata, akhirnya semua keluarga menyetujui keinginannya. Apalagi setelah dia menyodorkan foto seorang gadis -yang juga masih muda- yang bersedia menikah dengannya. Ustadnya yang mencarikan. Gadis ini dan keluarganya tak keberatan dengan keadaan pemuda 19 tahun ini, yang masih muda, ababil, dan belum memiliki pekerjaan tetap. Semua hal itu bukan penghalang untuk menjalankan pernikahan, katanya. Asal sudah ingin dan siap. Masalah ilmu dan rizki itu bisa nyusul.



Bulan Desember kami sekeluarga datang ke rumah sang gadis untuk mengkhitbahnya, dan tanggal 18 Maret kemarin, pemuda 19 tahun ini resmi menikah. Kami hanya bisa berdoa semoga pemuda ini bisa menjalankan kewajibannya dengan baik dan membangun kelurga samara dengan pasangannya. Berawal dengan niat yang baik, proses yang baik (taaruf), semoga akan berakhir dengan baik pula.



Dewasa ini, kita sering mengukur kesiapan seseorang untuk menikah dari usia dan materi yang dimilikinya. Padahal pernikahan bukanlah proses menggabung dua insan yang berusia matang dan memiliki materi yang lebih. Karena itu tak heran ketika para orangtua berbondong-bondong menyuruh anaknya untuk sukses secara financial dulu, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.



Dalam pernikahan, financial memang penting. Tapi bukan faktor utama yang menyukseskan sebuah rumah tangga. Ia (financial) hanya faktor pendukung saja. Toh, banyak rumah tangga yang hancur meski dari segi materi berlebih.



Sebagai seorang muslim, pantang bagi kita untuk menjadikan materi sebagai sumber kebahagiaan. Sumber kebahagiaan seorang muslim adalah ridho Allah. Maka ketika ada seorang pemuda yang ingin menikah dan masih minim dalam segi materi, bukan hak kita untuk melarangnya. Bahkan Allah sendiri yang berjanji akan menolong mereka. Seperti dalam firmanNya,


“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32)


Dan seperti yang tercantum dalam hadits,

“Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160)

2 komentar:

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming