26 September 2014

6x4 di PR Matematika Adik : Penjelasan dan Pencerahan Karenanya



Dengan semakin bertambahnya pengguna dan penggunaan sosmed, menjadi terkenal dan eksis sangatlah mudah, tinggal bikin sensasi, digosok-gosok, melesatlah nama kita jadi trending topic di jagad maya. Oke! Sebut saja, dijah yellow yang terkenal karena aksinya di instagram atau kasus terakhir yang melejitkan nama Florence sihombing karena membuat makian yang tidak pantas untuk masyarakat Yogyakarta di akun pathnya. Dan beberapa hari terakhir ini, PR matematika adiknya yang duduk di kelas 2 SD membuat nama Muhammad Erfas Maulana melanglangbuana.

Awalnya, saya berpikir, kok tega banget ya gurunya. Padahal kan hasilnya sama saja. Kenapa pula pengerjaannya harus persis sama dengan sang guru kalau ternyata hasilnya toh sama. Namun pikiran ini berubah setelah membaca status seorang teman di facebook yang notabene dia adalah guru matematika. Dia bilang, sang guru sudah mengambil langkah yang tepat dengan menyalahkan PR muridnya, karena memang pengerjaannya salah. Misal B+B+B+B+B+B = 6B bukan B6 kan?. Ini sama saja dengan soal 4+4+4+4+4+4 = 6x4 bukan 4x6. Matematika itu ilmu pasti. Yang rumus dan pengerjaannya sudah baku berbeda dengan pelajaran non eksak. Angka boleh sama namun dalam konseptual dan logika berbeda.

Sayangnya, kebanyakan guru matematika melakukan metode pengajaran yang mengharuskan muridnya untuk hapal, bukan faham. 6X4=24, 1+1=2. Ini pengalaman saya dulu. Setiap siswa dituntut untuk menghapal rumus yang seabrek. Rumus luas lingkaran begini, untuk mencari integral seperti ini. Tanpa disertai dengan penjelasan kenapa harus seperti itu. Al hasil, siswa hanya mampu memecahkan soal yang pengerjaannya sama persis dengan rumus. Ketika masalah dikembangkan, bingunglah mereka. Bagi siswa yang cerdas mungkin bisa, tapi bagi siswa yang memiliki kemampuan terbatas, semakin ngeri-lah dia dengan pelajaran matematika.

Yep! Akhirnya, dari penjelasan Pak Guru dan fenomena 6x4 ini, saya mendapat sebuah pencerahan. Kita sering kali berkilah dengan kata “yang penting hasilnya sama” atau “yang penting itu proses bukan hasil.” Padahal, untuk apa hasil sama ketika dilakukan dengan cara yang keliru. Selain itu, proses yang akan dihargai tentunya adalah sebuah proses yang sesuai dengan ketentuan dan hukum-hukum yang berlaku. Kalau proses yang kita lakukan keliru jangan mengharapkan penghargaan, apalagi hasil yang luar biasa.

Finally, kesimpulannya adalah hasil akan dianggap keliru ketika prosesnya keliru, sekalipun hasilnya benar. Seperti itu pun hidup. Keberhasilan yang sesungguhnya akan kita raih manakala ikhtiar atau proses yang kita lakukan benar.

1 komentar:

  1. Maaf. Prosesnya tidak keliru. Yang keliru itu kalau pakai kalkulator atau mencontek. Benar yang tertulis bahwa "yang penting manusia paham proses. Bukan hapalan"

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming