Dengan
semakin bertambahnya pengguna dan penggunaan sosmed, menjadi terkenal
dan eksis sangatlah mudah, tinggal bikin sensasi, digosok-gosok,
melesatlah nama kita jadi trending topic di jagad maya. Oke! Sebut
saja, dijah yellow yang terkenal karena aksinya di instagram atau
kasus terakhir yang melejitkan nama Florence sihombing karena membuat
makian yang tidak pantas untuk masyarakat Yogyakarta di akun pathnya.
Dan beberapa hari terakhir ini, PR matematika adiknya yang duduk di
kelas 2 SD membuat nama Muhammad Erfas Maulana melanglangbuana.
Awalnya,
saya berpikir, kok tega banget ya gurunya. Padahal kan hasilnya sama
saja. Kenapa pula pengerjaannya harus persis sama dengan sang guru
kalau ternyata hasilnya toh sama. Namun pikiran ini berubah setelah
membaca status seorang teman di facebook yang notabene dia adalah
guru matematika. Dia bilang, sang guru sudah mengambil langkah yang
tepat dengan menyalahkan PR muridnya, karena memang pengerjaannya
salah. Misal B+B+B+B+B+B = 6B bukan B6 kan?. Ini sama saja dengan
soal 4+4+4+4+4+4 = 6x4 bukan 4x6. Matematika itu ilmu pasti. Yang
rumus dan pengerjaannya sudah baku berbeda dengan pelajaran non
eksak. Angka boleh sama namun dalam konseptual dan logika berbeda.
Sayangnya,
kebanyakan guru matematika melakukan metode pengajaran yang
mengharuskan muridnya untuk hapal, bukan faham. 6X4=24, 1+1=2. Ini
pengalaman saya dulu. Setiap siswa dituntut untuk menghapal rumus
yang seabrek. Rumus luas lingkaran begini, untuk mencari integral
seperti ini. Tanpa disertai dengan penjelasan kenapa harus seperti
itu. Al hasil, siswa hanya mampu memecahkan soal yang pengerjaannya
sama persis dengan rumus. Ketika masalah dikembangkan, bingunglah
mereka. Bagi siswa yang cerdas mungkin bisa, tapi bagi siswa yang
memiliki kemampuan terbatas, semakin ngeri-lah dia dengan pelajaran
matematika.
Yep!
Akhirnya, dari penjelasan Pak Guru dan fenomena 6x4 ini, saya mendapat
sebuah pencerahan. Kita sering kali berkilah dengan kata “yang
penting hasilnya sama” atau “yang penting itu proses bukan
hasil.” Padahal, untuk apa hasil sama ketika dilakukan dengan cara yang
keliru. Selain itu, proses yang akan dihargai tentunya adalah sebuah
proses yang sesuai dengan ketentuan dan hukum-hukum yang berlaku.
Kalau proses yang kita lakukan keliru jangan mengharapkan
penghargaan, apalagi hasil yang luar biasa.
Finally,
kesimpulannya adalah hasil akan dianggap keliru ketika prosesnya
keliru, sekalipun hasilnya benar. Seperti itu pun hidup. Keberhasilan
yang sesungguhnya akan kita raih manakala ikhtiar atau proses yang
kita lakukan benar.
Maaf. Prosesnya tidak keliru. Yang keliru itu kalau pakai kalkulator atau mencontek. Benar yang tertulis bahwa "yang penting manusia paham proses. Bukan hapalan"
BalasHapus