credit |
“Emangnya
nggak KB Teh?”
“Teteh
KB?”
Pertanyaan-pertanyaan
ini yang kerap saya terima ketika hamil anak kedua. Ya, saya maklumi
saja. Pantaslah mereka bertanya karena jarak kehamilan saya cukup
dekat. Saya hamil anak kedua ketika anak pertama saya berusia 19
bulan. Hamil dengan jarak yang cukup dekat memang mengundang
kontroversi (berasa artis) setelah program KB marak di masyarakat.
Apalagi kalau ditambah dengan mengingat usia si kakak yang masih
kecil dan butuh perhatian. Ribet katanya, ngurus batita dan bayi
sekaligus. Iya sih, *berasanya sekarang :P
Mendapat
pertanyaan seperti itu saya cuma senyum kemudian menjawab “tidak”.
Jawaban ini cukup membuat orang-orang bungkam dan tak bertanya lagi.
Mungkin akan berbeda ceritanya ketika saya menjawab, saya dan suami
menjalani program KB yang alami. Haduh! Ribetlah menjelaskannya.
Saya
bukannya tak ingin berKB. Toh jumhur ulama memperbolehkan mengikuti
program KB ini. Dulu saya sempat datang ke Bidan berniat untuk KB.
Kemudian pulang dengan tangan hampa karena tidak diijinkan berKB.
Alasannya saya belum menstruasi. Entah ini normal atau tidak, tapi
saya baru mendapat menstruasi lagi setelah 1 tahun pasca melahirkan.
“Takutnya hamil,” begitu kata bidannya. Setelah 1 tahun, keburu
males untuk pergi ke Bidan. Untungnya suami juga nggak memaksa saya
untuk KB. Allah yang tahu batas kemampuan kita sampai dimana. Kalau
kita dinilai mampu ya pasti dikasih, kalau dinilai nggak mampu yang
nggak dikasih. Simple.
Di
Indonesia, program Keluarga Berencana mulai dicanangkan pada tahun 1967. Saat itu
pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat cepat dan dinilai
mengkhawatirkan. Pertumbuhan penduduk yang cepat inilah yang mereka
anggap sebagai penyebab berbagai masalah sosial seperti kemiskinan
dan kebodohan Jumlah penduduk yang terus bertambah sementara
ketersediaan sumber daya alam tetap bahkan semakin berkurang,
disinyalir menjadi akar masalah rendahnya angka kesejahteraan
penduduk Indonesia. Sejak saat itulah program KB gencar
disosialisasikan. Ungkapan banyak anak banyak rezeki sudah tak
berlaku lagi.
Lalu
seperti apa pandangan islam terhadap KB?
Apa hukumnya KB dalam islam?
Anak
merupakan anugerah sekaligus amanah yang dititpkan kepada setiap
orangtua. Karenanya sudah sepatutnya setiap orangtua bersyukur ketika
dikarunia seorang anak. Namun terkadang ada kondisi dimana para
orangtua menunda untuk memiliki anak atau membatasi kehamilan dengan
mengikuti program KB.
Jumhur
Ulama memperbolehkan KB. Diantara ulama’ yang membolehkan adalah
Imam al-Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh Syalthut, Ulama’ yang
membolehkan ini berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti progaram KB
dengan ketentuan antara lain, karena menghawatirkan keselamatan jiwa
atau kesehatan ibu. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
ولا
تلقوا بأيديكم إلى التهلكة (البقرة
: 195)
“Janganlah
kalian menjerumuskan diri dalam kerusakan”.
Atau
alasan yang lain yaitu untuk mengatur jarak kelahiran anak demi
menyempurnakan pemberiaan ASI atau memaksimalkan pendidikan mereka.
Sedangkan
KB tidak boleh dilakukan dengan alasan takut kemiskan dan membatasi
jumlah kehamilan karena takut tidak bisa memenuhi kebutuhan anak.
Hal ini berdasarkan firman Allah,
ولا
تقتلوا أولادكم من إملق نحن نرزقكم وإياهم
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut (kemiskinan) kami
akan memberi rizkqi kepadamu dan kepada mereka”.(Al israa :31)
Racun
Sekulerisme
Racun
sekulerisme yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan umat
islam, telah merubah cara pandang umat islam menjadi serba dunia
bukan akhirat. Dengan menjadikan kesenangan duniawi sebagai tolak
ukur kebahagiaan, maka tidak heran ketika banyak orangtua yang
berbondong-bonodng mengikuti KB karena takut miskin atau takut tidak
bisa memenuhi kebutuhan anak. Padahal jika kita yakin pada Allah SWT,
maka tak ada yang perlu dikhawatirkan karena Allah sendiri yang
menjamin rizki setiap orang.
Dalam
hal ini, nampaknya pemerintah pun mempunyai cara pandang yang keliru
ketika menjadikan ledakan penduduk sebagai akar masalah dari berbagai
masalah sosial. Dengan alasan sumber daya alam yang semakin menipis
dan lahan untuk tempat tinggal semakin kecil, pemerintah gencar
mensosialisasikan program KB. Padahal faktanya, sumber daya alam di
Indonesia, luar biasa kaya. Lautan yang kaya akan ikan dan terumbu
karang, serta sumber daya mineral yang melimpah petroleum, timah, gas
alam, nikel, tembaga, bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak. Di
samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik
digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Kekayaan ini sudah lebih dari
cukup untuk menjamin hidup 200 jiwa penduduk Indonesia.
Pertanyaannya,
kenapa masih banyak penduduk Indonesia yang tidak merasakan kekayaaan
alam ini? Jawabannya sudah jelas. Pemerintah yang keliru dalam
mengelolanya. Sumber daya alam yang seharusnya dikelola pemerintah
untuk kesejahteraan masyarakat, kini banyak yang dikelola oleh pihak
swasta bahkan asing. Akibatnya kekayaan alam indonesia hanya
dirasakan oleh segelintir orang. Akibat diserahkan kepada pihak
swasta inilah, kemudian eksploitasi sumber daya alam ini menjadi
eksploitasi yang berlebihan tanpa mempertimbangan aspek lingkungan
dan ketersediaannya untuk jangka waktu yang lama.
Selain
itu, yang menjadi akar masalah dari masalah sosial, bukan jumlah
penduduk melainkan penyebaran penduduk yang tidak merata. Bayank
pulau-pulau di Indonesia khususnya yang masih sangat jarang
penduduknya. Namun nampaknya rakyat indonesia lebih senang tinggal di
pulau Jawa khusunya di Ibu kota karena pembangunan disini berjalan
sangat cepat, berbeda dengan di daerah. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan penduduk menumpuk di ibu kota.
Pemerintah
sebagai pelayan umat, seharusnya bisa menjamin kesejahteraan
rakyatnya dengan menjalankan perannya sesuai dengan syariat bukan
lantas menyalahkan jumlah penduduk sebagai penyebab dari buruknya
tingkat kesejahteraan di Indonesia.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus