Beberapa minggu yang
lalu, saya tak sengaja melihat berita di infotainment tentang gugatan
cerai yang dilayangkan seorang artis dangdut. (haduh! Ketauan deh
suka nonton acara gosip) Penyanyi dangdut ini, lupa namanya, baru
menikah 10 bulan. Dan konon, yang menyebabkan dia melayangkan gugatan
cerai adalah KDRT yang dilakukan suaminya.
“Saya itu biasanya
pacarannya lama. Kalau sama suami saya, 3 bulan pacaran langsung
nikah. Mungkin ini keteledoran saya juga, karena baru sebentar
pacaran, langsung mau diajak nikah. Akhirnya saya nggak tahu sifat
asli dia seperti apa,” akunya pada wartawan. Dialognya sedikit
banyak saya ubah, tapi tidak mengubah konten dan makna keseluruhan.
Saya agak kaget
mendengar pengakuannya. Bagaimana tidak, saya dan suami malah nggak
pacaran sama sekali. Kami menjalani ta'aruf kurang lebih sama dengan
waktu pacaran artis dangdut tadi, 3 bulan. Dalam rentang waktu itu
pun tak banyak komunikasi yang kami jalin. Jarang banget sms apalagi
telpon. Lokasi saya dan suami yang berjauhan juga mengurangi
intensitas pertemuan kami. Sebelum menikah, kami hanya 4 kali bersua.
Setelah proses itu kami mantap menikah.
Saya tidak
memungkiri bahwa banyak kejutan yang saya dapatkan setelah
menikah. Dan kejutan ini saya dapatkan karena saya masih buta
tentang pribadi dan karakter suami. Tapi Alhamdulillah, kami
berdua bisa menjalani awal-awal pernikahan dengan baik. Kami jadikan
awal pernikahan kami sebagai sarana untuk saling mengenal kemudian
setelahnya belajar memahami dan menerima satu sama lain. Sampai saat
ini.
Lalu, bener nggak
sih, sebentarnya waktu pacaran yang menyebabkan bahtera rumah tangga
kandas? Saya rasa kurang tepat kalau mengkambing hitamkan waktu
pacaran atas hancurnya sebuah rumah tangga. Ada kok yang pacaran
bertahun-tahun tapi menjalani pernikahan hanya beberapa bulan.
Kemudian dengan entengnya bilang, kalau mereka sudah tidak ada
kecocokan lagi. Helooow, waktu bertahun-tahun itu ngapain aja? Main
gaple?
Pacaran memang kerap
dilakukan dengan dalih ajang mengenal pasangan. Sekali pun agama
islam mengharamkan aktivitas ini, pacaran dipandang sebagai aktivitas
yang lumrah. Padahal menurut survei yang saya lakukan sendiri,
kebanyakan pacaran dilakukan sebagai ajang seneng-seneng aja. Masa
iya, anak smp pacaran untuk serius mencari pasangan hidup alias mau
langsung nikah? Sering juga terjadi banyak orang yang berubah setelah
menikah. Yang dulu mesra jadi kasar, yang dulu perhatian, jadi bodo
amat. Haduh! Jadi sebenarnya pacaran lama tidak menjamin keawetan
rumah tangga seseorang.
Lalu, apa yang
sebenarnya bisa mengawetkan rumah tangga?
Saya yakin bahwa
tidak ada pasangan yang 100 % cocok. Pasti ada saja, sifat atau sikap
pasangan yang bertentangan dengan keinginan kita. Maka dari sini
setiap pasangan (baik istri maupun suami) dituntut untuk bisa
menerima pasangannya sepenuhnya. No body perfect. Kenyataan
ini yang kerap kita lupakan dan dengan seenaknya menuntut pasangan
kita untuk sempurna seperti yang kita inginkan.
Saya pernah membaca
sebuah artikel yang memuat sebuah fakta bahwa yang lebih sering
menuntut adalah perempuan. Haduh! Mungkin karena perempuan selalu
melibatkan perasaan dalam hal apa pun. Dan manakala ia menjumpai
keadaan yang tak sesuai dengan keinginannya, maka perasaannya pun
ikut terlibat. Dan celakanya, perasaan ini kadangkala mengesampingkan
realita yang bisa membuat kita berfikir lebih jernih. Dramanya,
ketika sang suami tak bisa memenuhi keinginan kita, maka yang muncul
dibenak seorang perempuan adalah pertanyaan, “Dia bener-bener cinta
nggak sih sama aku?” *backsound : eeeeaaaaaaaa
Ketika kita melihat
kekurangan pada diri suami, jarang sekali kita melihat bahwa
kekurangan suami adalah bagian yang harus kita sempurnakan. Mata kita
kerap tertutup oleh rasa egois yang selalu menghendaki kesempurnaan
suami. Seolah lupa bahwa kita pun tak sempurna. Di samping itu kita
pun lupa untuk bermuhasabah, jangan-jangan ada yang salah dengan diri
kita. Bisa saja suami melakukan kesalahan karena kita pun berbuat
salah. Kurang perhatian, mungkin? Atau bisa saja karena kita tidak
bisa menjadi rumah yang nyaman bagi suami. Tidak
menyenangkannya ketika dia memandang. Atau kurang bersyukur atas
nafkah yang diberikannya.
Pernikahan pada
hakikatnya adalah saling menyempurnakan. Maka seorang istri yang baik
akan senantiasa menerima dan menyempurnakan suaminya. Sabar dengan
segala kekurangannya dan bersyukur atas segala kebaikan yang datang
dari suaminya.
Belajar menerima itu
lebih membahagiakan daripada menuntut terlalu sering.
Tulisan ini diikutkan giveaway Istri yang Baik
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusTerima kasih ya sudah ikutan GA kami :)
BalasHapusBermanfaat banget artikelnya, semoga menjadi istri yang solehah.. amiin
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus