25 November 2014

Istri yang Baik : Menyempurnakan Suami

Beberapa minggu yang lalu, saya tak sengaja melihat berita di infotainment tentang gugatan cerai yang dilayangkan seorang artis dangdut. (haduh! Ketauan deh suka nonton acara gosip) Penyanyi dangdut ini, lupa namanya, baru menikah 10 bulan. Dan konon, yang menyebabkan dia melayangkan gugatan cerai adalah KDRT yang dilakukan suaminya.

“Saya itu biasanya pacarannya lama. Kalau sama suami saya, 3 bulan pacaran langsung nikah. Mungkin ini keteledoran saya juga, karena baru sebentar pacaran, langsung mau diajak nikah. Akhirnya saya nggak tahu sifat asli dia seperti apa,” akunya pada wartawan. Dialognya sedikit banyak saya ubah, tapi tidak mengubah konten dan makna keseluruhan.

Saya agak kaget mendengar pengakuannya. Bagaimana tidak, saya dan suami malah nggak pacaran sama sekali. Kami menjalani ta'aruf kurang lebih sama dengan waktu pacaran artis dangdut tadi, 3 bulan. Dalam rentang waktu itu pun tak banyak komunikasi yang kami jalin. Jarang banget sms apalagi telpon. Lokasi saya dan suami yang berjauhan juga mengurangi intensitas pertemuan kami. Sebelum menikah, kami hanya 4 kali bersua. Setelah proses itu kami mantap menikah.

Saya tidak memungkiri bahwa banyak kejutan yang saya dapatkan setelah menikah. Dan kejutan ini saya dapatkan karena saya masih buta tentang pribadi dan karakter suami. Tapi Alhamdulillah, kami berdua bisa menjalani awal-awal pernikahan dengan baik. Kami jadikan awal pernikahan kami sebagai sarana untuk saling mengenal kemudian setelahnya belajar memahami dan menerima satu sama lain. Sampai saat ini.

Lalu, bener nggak sih, sebentarnya waktu pacaran yang menyebabkan bahtera rumah tangga kandas? Saya rasa kurang tepat kalau mengkambing hitamkan waktu pacaran atas hancurnya sebuah rumah tangga. Ada kok yang pacaran bertahun-tahun tapi menjalani pernikahan hanya beberapa bulan. Kemudian dengan entengnya bilang, kalau mereka sudah tidak ada kecocokan lagi. Helooow, waktu bertahun-tahun itu ngapain aja? Main gaple?

Pacaran memang kerap dilakukan dengan dalih ajang mengenal pasangan. Sekali pun agama islam mengharamkan aktivitas ini, pacaran dipandang sebagai aktivitas yang lumrah. Padahal menurut survei yang saya lakukan sendiri, kebanyakan pacaran dilakukan sebagai ajang seneng-seneng aja. Masa iya, anak smp pacaran untuk serius mencari pasangan hidup alias mau langsung nikah? Sering juga terjadi banyak orang yang berubah setelah menikah. Yang dulu mesra jadi kasar, yang dulu perhatian, jadi bodo amat. Haduh! Jadi sebenarnya pacaran lama tidak menjamin keawetan rumah tangga seseorang.

Lalu, apa yang sebenarnya bisa mengawetkan rumah tangga?

Saya yakin bahwa tidak ada pasangan yang 100 % cocok. Pasti ada saja, sifat atau sikap pasangan yang bertentangan dengan keinginan kita. Maka dari sini setiap pasangan (baik istri maupun suami) dituntut untuk bisa menerima pasangannya sepenuhnya. No body perfect. Kenyataan ini yang kerap kita lupakan dan dengan seenaknya menuntut pasangan kita untuk sempurna seperti yang kita inginkan.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang memuat sebuah fakta bahwa yang lebih sering menuntut adalah perempuan. Haduh! Mungkin karena perempuan selalu melibatkan perasaan dalam hal apa pun. Dan manakala ia menjumpai keadaan yang tak sesuai dengan keinginannya, maka perasaannya pun ikut terlibat. Dan celakanya, perasaan ini kadangkala mengesampingkan realita yang bisa membuat kita berfikir lebih jernih. Dramanya, ketika sang suami tak bisa memenuhi keinginan kita, maka yang muncul dibenak seorang perempuan adalah pertanyaan, “Dia bener-bener cinta nggak sih sama aku?” *backsound : eeeeaaaaaaaa

Ketika kita melihat kekurangan pada diri suami, jarang sekali kita melihat bahwa kekurangan suami adalah bagian yang harus kita sempurnakan. Mata kita kerap tertutup oleh rasa egois yang selalu menghendaki kesempurnaan suami. Seolah lupa bahwa kita pun tak sempurna. Di samping itu kita pun lupa untuk bermuhasabah, jangan-jangan ada yang salah dengan diri kita. Bisa saja suami melakukan kesalahan karena kita pun berbuat salah. Kurang perhatian, mungkin? Atau bisa saja karena kita tidak bisa menjadi rumah yang nyaman bagi suami. Tidak menyenangkannya ketika dia memandang. Atau kurang bersyukur atas nafkah yang diberikannya.

Pernikahan pada hakikatnya adalah saling menyempurnakan. Maka seorang istri yang baik akan senantiasa menerima dan menyempurnakan suaminya. Sabar dengan segala kekurangannya dan bersyukur atas segala kebaikan yang datang dari suaminya.

Belajar menerima itu lebih membahagiakan daripada menuntut terlalu sering.

 

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Terima kasih ya sudah ikutan GA kami :)

    BalasHapus
  4. Bermanfaat banget artikelnya, semoga menjadi istri yang solehah.. amiin

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming