Tulisan ini saya susun untuk mengikuti giveaway motivawritter. Tapi lebih dari itu, sebenarnya tulisan ini
lebih saya tujukan untuk diri saya sendiri. Sebagai pengingat jika
pada suatu saat nanti saya alpa atas apa yang akan saya tulis
sekarang.
***
Pernikahan. Pada dasarnya adalah sebuah
jalan untuk menyatukan dua manusia yang berbeda. Entah itu fisiknya,
pikirannya, keinginannya, sampai pada hal kecil semisal kesukaan.
Ketika menikah, dua insan ini dituntut untuk saling memahami dan
saling menyempurnakan satu sama lain.
Bukan hal yang mudah untuk memahami
seseorang. Seringnya apa yang menjadi keinginan orang lain, bukan
menjadi keinginan kita. Atau yang menjadi kesukaan orang lain bukan
menjadi kesukaan kita. Hal ini yang saya rasakan setelah menikah.
Ditambah lagi, saya dan suami belum lama saling mengenal. Hanya
kurang lebih 3 bulan kami menjalani ta'aruf. Selama rentang waktu itu
pun tak banyak komunikasi yang kami jalin. Hanya sesekali jika memang
sangat mendesak. Suami saya pernah berkata,
Jika keyakinan pada seseorang
tidak berbanding lurus dengan berapa lama kita mengenalnya.
Perkataannya inilah yang membuat saya
mantap untuk menjadi sulbinya.
Dan setelah menikah, taraaaaa banyak
sekali kejutan yang dia beri.
Ada yang saya suka dan tak sedikit yang saya tidak suka.
Jujur,
awal menikah saya kurang bisa meredam egoisme. Jadi ketika menemukan
hal-hal yang tidak saya suka, saya langsung komplain dan ngoceh
sampai keinginan saya dituruti.
Satu
kebiasaannya yang paling tidak saya suka adalah ketika dia asyik
berduaan dengan laptopnya. Dia sangat fokus dan acap kali mengacuhkan
saya. Karena kesal, saya pernah bertanya padanya,
“Istrinya
Aa itu siapa sih? Neng atau laptop?” (Haaahaa, orang sunda
dialognya pake Neng dan Aa :D)
Suami saya jelas terkejut mendengar
pertanyaan konyol saya“Ya
Neng lah, masa laptop,” jawabnya dengan nada bercanda.
Bukan
tanpa alasan saya membenci kebiasaannya ini. Ketika suami asyik
sendiri dengan laptopnya, saya merasa sangat kesepian karena di rumah
hanya ada kami berdua. Selain itu, di tempat tinggal sekarang, saya
belum mempunyai kenalan karena baru pindah.
Saking
tidak sukanya pada kebiasaannya ini, saya sempat bersu'udzon jika
suami tak benar-benar mencintai saya. Kalau cinta harusnya
diperhatikan dong? Kalau cinta seharusnya meluangkan waktu untuk
sekedar ngobrol kan? Anggapan-anggapan ini yang berseliweran dalam
pikiran saya.
Beruntung
Allah tak membiarkan saya terlalu lama tenggelam dalam anggapan buruk
saya tentang suami. Dia menyadarkan saya dengan jalannya yang tak
terduga. Ketika saya sedang berselancar di facebook, saya menemukan
sebuah note tentang rumah tangga. Isinya bercerita tentang suami
istri yang sepakat untuk menuliskan hal-hal yang tidak disukai dari
pasangannya dalam sebuah kertas. Hal ini diprakarsai oleh si istri
karena merasa terlalu banyak sifat dan sikap suaminya yang membuatnya
kesal. Setelah selesai, keduanya memperlihatkan tulisannya
masing-masing. Kertas si istri sudah tentu penuh dengan keluhan
tentang suaminya. Semisal, kamu nyimpen cucian kotor selalu
sembarang. Tidur ngorok kamu sangat menggangguku. Habis kerja
harusnya kamu mandi jangan langsung tidur.
Dan masih banyak lagi hingga kertasnya penuh. Tetapi, ketika si suami
memperlihatkan kertasnya, betapa malunya si istri. Di kertas itu
hanya tertulis. Aku menyukai semua hal tentang dirimu.
Membaca ini air mata si istri luruh seketika. Begitu juga air mata
saya. Sekuat tenaga saya menahan butiran bening yang mendesak keluar
di ujung kelopak mata, namun akhirnya luruh juga. Tubuh saya
menggigil menyadari kesalahan yang saya lakukan pada suami.
Saya
tahu, si suami bukannya tak mempunyai keluhan tentang istrinya, tapi
dia menyadari jika kekurang istrinya bukanlah suatu hal untuk
dikeluhkan, tapi untuk dia sempurnakan. Entah itu dengan cara
mengingatkan istrinya, atau menjadi penyempurna dari kekurangan itu.
Selama menikah, saya selalu komplain jika menemukan hal yang tidak
saya suka. Tapi suami saya, tidak. Dia tak pernah protes tentang
kebiasaan tidur saya yang tidak bisa diam, masakan saya yang kurang
enak, dan kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya.
Setelah
kejadian ini saya memaksa diri
sendiri untuk lebih memahami suami. Suami sangat fokus dengan
laptopnya (mungkin) karena saat itu dia sedang mengerjakan skripsinya
dan berharap agar nilai akhirnya bagus hingga bisa membuat saya,
sebagai istrinya bangga. Berhusnudzon ternyata lebih membuat hati
tenang jika dibanding dengan terus-terusan berprasangka buruk pada
orang lain. Agar tak kesepian ketika suami sedang berkencan dengan
laptop, saya mencoba membuatkan makanan kecil dan minuman hangat
untuknya. Setelah itu duduk di sampingnya dan menanyakan ini itu
seputar html dan kode-kode pemrograman. Finally,
usaha saya berhasil. Suami tak merasa risih ketika saya ada di
sampingnya walau sesekali saya menggodanya dengan memencet keyboard
sembarangan. Dulu tak suka, tapi sekarang hal ini menjadi sesuatu
yang justru mendekatkan saya dan suami. Karena ketika saya bertanya
seputar komputer, suami saya sangat bersemangat menjawabnya.
Jangan
memaksa orang yang kita cintai untuk mencintai kita sesuai dengan
cara yang kita inginkan, tapi belajarlah memahami caranya mencintai
kita. Karena dengan begitu, kita akan tahu betapa besar cinta yang
dia persembahkan untuk kita.
Dulu
kau sering bertanya tentang arti memahami padaku
Kini
aku tahu jawabannya, Sayang
Memahami
itu pohon mahoni
Lihatlah,
bagaimana dia tak memaki kemarau yang membuatnya kelaparan
Tapi
dia justru menggugurkan daun-daun egoisme yang menguning di tubuhnya
Postingan ini diikutsertakan pada, Motivawritter Giveaway
suka kalimat terakhirnya
BalasHapusseperti mahoni yang tidak membenci kemarau,
hm..gutlak buat giveawaynya :D
seperti mahoni yang tak memaki kemarau mba ^^
Hapusmakasih yaa
Jangan lupa daftar yah mba, hihihi :')
BalasHapus