21 Desember 2013

Bapak di Mata Anak Perempuannya

Sebelum besok kita merayakan hari ibu, saya ingin lebih dulu membuat sebuah tulisan tentang seorang ayah. Bagaimana pun rasanya tak adil ketika ketika hanya merayakan hari ibu saja, padahal kita ada karena kita memiliki seorang ayah. Perjuangan seorang ayah sangatlah berat, beliaulah yang senantiasa memeras keringat agar kita bisa makan sesuap nasi. Beliaulah yang rela sedikit tidur agar kita bisa lelap beristirahat.

Well, beberapa hari yang lalu saya menelpon ibu untuk mengabarkan saya hamil lagi. *perihal kehamilan ini kita bahas nanti saja :D. Setelah mengucap rasa syukurnya, ibu memberitahu saya bahwa Bapak marah ketika saya menanyakan rumah kontrakan di Sumedang. Yah, sesuai rencana saya dan suami, akhir tahun ini kami berniat pulang kampung. *bye bye Tangerang Sreett #lap ingus. Karena itulah saya menanyakan rumah kontrakan untuk hunian sementara kami bertiga. Pikir saya, moso mau numpang di rumah ortu sih?
Namun diluar dugaan saya, ternyata Bapak tidak suka dengan keputusan saya dan suami "kawas di imah hareurin wae,"[1] katanya.
 
Mendengar kabar ini dari ibu saya sedikit terkejut, saya kira Bapak akan mendukung keinginan kami untuk mandiri, eh ternyata.

Lama saya berpikir untuk memutuskan akan kemana saya nanti. Apakah keukeh cari rumah kontrakan, atau menuruti keinginan Bapak untuk tinggal di rumah. Sebelum menentukan pilihan, saya lebih dulu sadar bahwa ini adalah salah satu wujud kasih sayangnya. Saya tahu, Bapak tak ingin jauh-jauh lagi dari anak dan cucunya.

Saya ingat, ketika saya masih SMA dulu, Bapak kerap kali menunggui saya di depan gang jika saya pulang terlambat.  Wajahnya sangar dan tak  mengeluarkan sepatah kata pun ketika saya turun dari ojek. Sampai di rumah, ibu yang cerewet menasihati saya agar tak pulang terlambat lagi. "Tong ngahariwangkeun kolot. Bapak ngambek!"[2] Sementara itu Bapak diam saja.

Sifat Bapak memang seperti itu, mendiamkan orang yang membuatnya kesal. Bapak tegas namun dalam ketegasannya ada rasa sayang dan keinginan melindungi. Apa bukan sayang namanya ketika seorang ayah rela menunggui anak perempuannya di depan gang, hanya untuk memastikan anaknya pulang selamat?

Dilain waktu, Bapak memilih untuk meminjam uang ke temannya daripada melihat saya tak memiliki handphone-yang pada saat itu teman-teman saya sudah memilikinya-

Setelah saya lulus SMA, saya menyampaikan keinginan untuk kuliah di Jakarta dan numpang tinggal di rumah kakak sahabat saya. Sambil bantu-bantu di rumahnya, Pak. Kan teteh kuliahnya pake beasiswa.Bujuk saya waktu itu. Bapak tak mengijinkan. Dia bilang, kalau saya lelaki silahkan saja. Apalagi ketika saya menyampaikan keinginan untuk kuliah di Yogyakarta. Jelas-jelas di tolaknya. Jauh. Nek jeung saha di dituna?[3]

Saat itu saya kecewa, kenapa Bapak tak membiarkan saya untuk kuliah? Kenapa Bapak terlalu khawatir? Kenapa? Kenapa?
Teteh teh awewe, Bapak melang.[4]

Sekali lagi saya faham, dia amat menyayangi saya.

Setelah saya menikah,  dia tak lagi melarang saya ke Tangerang. Mungkin  karena saya sudah punya suami yang akan menjaga saya untuk menggantikannya.

Seorang ayah tentu berbeda dengan seorang ibu. Beliau punya cara yang berbeda untuk menujukan kasih sayangnya. Sifatnya tegas namun penuh dengan kasih sayang.

Bahagialah kita karena masih memilikinya.

[1] kayak di rumah sempit aja
[2] Jangan buat orangtua khawatir. Bapak ngambek
[3] Mau sama siapa di sana?
[4] Teteh itu perempuan, Bapak khawatir

2 komentar:

  1. masya Allah, jadi ingat bapakku. Dia meninggal sebelum ku dewasa. Aku akan beruntung jika diposisi teteh. aya2 wae, mau tinggal dimana? teteh perempuan! saya suka kata2 itu.

    teh, buktinya teteh terjaga oleh laki2 tapi setlah berumah tangga :)
    entah kenapa baca postingan ini aku tersentuh, seperti sedang menonton drama. lho?
    salam buat ayahnya...

    BalasHapus
  2. beberapa hal yang sama yang bikin gue gak bisa jauh-jauh dari Bokap gue! :)

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming