Judul
Buku : Menggenggam Bara Islam
Penulis :
Abay
Penerbit :
Za'faran-buku.wangi-
Tebal :
216 halaman
Membaca
judul buku ini, membawa saya kembali teringat akan sebuah hadits yang
menggambarkan bahwa ketika kita berusaha memegang teguh islam, akan
sama halnya ketika kita menggenggam sebuah bara. Panas. Tak semua
orang bisa melakukannya. Yah, buku ini membawa kita berkelana
menelusuri relung hati masing-masing untuk mencari sebuah jawaban
akan pertanyaan, apakah kita salah satu dari orang yang sanggup
menggenggam bara islam?
Anas bin Malik menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: “Akan tiba suatu masa pada manusia, dimana orang yang bersabar di antara mereka dalam memegang agamanya, ibarat orang yang menggenggam bara api.” (Hr. at-Tirmidzi)
Buku
ini disajikan dengan bahasan yang sangat runut. Dari hal-hal yang
mendasar sampai puncaknya pembahasan di akhir buku. Penulis
menyuguhkan kita sebuah perjalanan antara kita dan islam. Ada tiga
genggaman dalam buku ini.
Genggaman
pertama berjudul “Sekokoh Karang”
Dalam
bab ini, penulis memaparkan bagaimana seharusnya kita meyakini islam
sebagai satu-satunya agama yang benar. Tentang kebenaran Allah,
Rasulullah dan Al-quran. Semuanya dijelaskan dengan cara yang
sederhana hingga kita bisa mencernanya dengan logika. Dan dari
keyakinan inilah akan tumbuh cinta pada islam itu sendiri.
Jika
kita tidak bisa menemukan bukti bahwa islam adalah agama yang benar,
lalu bagaimana mungkin kita siap mengorbankan nyawa kita untuk
memperjuangkannya? (Sekokoh Karang, halaman 40).
Genggaman
kedua berjudul “Kebenaran Tidak Pernah Membisu”
Setelah
kita meyakini dan mencintai islam, tentunya kita tak bisa mencukupkan
diri kita hanya dengan hal itu saja. Kita memiliki kewajiban untuk
menuntut ilmu agar kita bisa beribadah dengan benar dan ikhlas. Allah
menolak setiap ibadah yang tidak didasari dengan ilmu.
“Barangsiapa yang mengada-ngada di dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan bersumber padanya, maka ia tertolak.” (HR. al Bukhari).
Cukupkah
sampai di sini? Ternyata tidak. Setiap muslim memiliki kewajiban
untuk menyebarkan cahaya, atau dengan kata lain, mendakwahkan islam
yang telah diyakininya itu.
“Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru kepada kema'rufan dan mencegah kepada kemunkaran, dan beriman kepada Allah.” (TQS Ali Imran :110)
Ummat
terbaik yang Allah maksudkan di sini tentu saja umat islam. Namun,
keutamaan tersebut akan disandang oleh umat islam, ketika mereka
beramar ma'ruf nahi munkar dan beriman kepada Allah. Jika syarat ini
tidak dipenuhi, maka sebutan ummat terbaik itu pun tidak akan kita
jumpai kebenarannya. Seperti halnya yang terjadi di masa kita
sekarang. Apakah kita melihat perwujudan ummat terbaik pada diri
setiap muslim?
Sebagai
motivasi, penulis menuturkan kisah seorang Abu Dzar Al Ghifary yang
selalu gelisah ketika belum menyampaikan kebenaran. Dituturakan pula
kisah Hanzalah yang bersegera memenuhi panggilan jihad ketika dirinya
bersama istrinya tengah bermalam pertama. Hingga ketika dia syahid,
jasadnya dimandikan malaikat.
Genggaman
ketiga berjudul “Menuju Cahaya”
Bab
ini adalah akhir dari perjalanan kita. Setelah kita meyakini islam,
mencintainya, mempelajarinya, mengamalkan, serta mendakwahkannya,
akhir yang akan kita temui adalah kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. InsyaAllah.
Jikalau sekira penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi.......... (TQS Al A'raf: 96)
Hai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surgaku. (TQS Al Fajr : 27-30)
Pada
akhirnya, buku ini membuat kita sadar bahwa dengan beragama islam
saja, itu tidaklah cukup. Kita harus meyakininya dengan keyakinan
yang kokoh kemudian mencintai dan melukiskan keindahan islam itu
sendiri dalam setiap aktifitas kita.
Islam dan Iman...
BalasHapus