6 Maret 2014

Berbincang tentang Demokrasi

Membincangkan demokrasi menjadi sesuatu yang mengasyikan akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, bulan depan, hajatan demokrasi digelar. Berbagai pertanyaan pun berseliweran dalam benak saya dan orang Indonesia tentunya. Apakah benar, demokrasi adalah sebuah sistem yang bisa membawa kesejahteran di segala bidang? Nyatanya sampai saat ini kehidupan rakyat Indonesia tak kunjung membaik malah semakin terpuruk.

Di bangku sekolah dulu kita pernah belajar apa itu demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno. Demos berarti rakyat, dan Cratos/Kratein/Kratia artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan. Jadi bisa disimpulkan demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena tak semua rakyat berkuasa, maka dibentuklah sebuah lembaga perwakilan yang diharapkan bisa mewakili aspirasi rakyat kebanyakan. Di Indonesia dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.

Lalu apa lagi informasi yang temans dapat ketika sekolah? Hm, mungkin kita diajarkan bahwa salah satu ciri demokrasi adalah musyawarah. Iya kan? Hingga kerap ketika ada perdebatan atau acara rapat apa pun, kita selalu mengagungkan demokrasi. Demokrasi dong! Gitu kan biasanya?

Atau apakah temans masih ingat dengan konsep trias politica yang dicetuskan Montesquieu? Bahwa dalam sistem demokrasi ada yang namanya pembagian kekuasaan meliputi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Selain hal diatas yang kita tahu dalam sebuah negara demokrasi adalah adanya pemilu, pilpres dan pilkada serta ditandai dengan masyarakat yang leluasa menyampaikan pendapatnya dengan turun ke jalan. Demonstrasi atau unjukrasa. Yes, itu namanya.

Namun, apakah kita tahu seperti apa sejarah tercetusnya demokrasi? Pelaksanaan demokrasi di Indonesia? Atau yang lebih jauh, apakah kita tahu pandangan islam (agama kita) terhadap demokrasi?

Well, kita bincang satu-satu.

Bentuk pemerintahan demokrasi mengemuka pada Revolusi Perancis. Bentuk pemerintahan ini adalah kritik terhadap kekuasaan absolut para raja (monarki/ mono archi) dan kekuasaan para bangsawan (aristokrasi). Saat itu puncak absolutisme Prancis terjadi pada pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715) dengan semboyan l'etat cest moi (negara adalah saya). Penyerbuan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789 menjadi tonggak dari Revolusi Prancis untuk mengakhiri absolutisme kerajaan. Roberpierre kemudian mencetuskan semboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) sebagai prinsip dari demokrasi yang kemudian diabadikan dalam warna-warna bendera nasional Prancis (merah, putih, biru).

Nah, ilmu kita bertambah kan? Ternyata demokrasi lahir sebagai bentuk ketidakpuasaan/kekecewaan pada sistem pemerintahan monarki yang absolut. Yang mana pada saat itu setiap keputusan diambil oleh seorang raja yang sewenang-wenang dan kerap menindas rakyatnya. Karena itulah rakyat menginginkan kedaulatan berada di tangan mereka dengan harapan mereka bisa hidup lebih baik. Selain itu, ternyata dalam demokrasi itu ada prinsip kebebasaan, persamaan, dan persaudaraan, ya?

Lalu bagaimana dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia?
Di Indonesia, pemilu kerap dijadikan sebagai bukti kesuksesan demokrasi, dimana rakyat bisa memilih sendiri wakil-wakilnya di DPR dan memilih orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan.
Sayangnya, justru pemilulah yang menjadi awal dari masalah yang kian membelit bangsa Indonesia (ini murni pendapat saya). Temans bisa lihat sendiri, apakah pelaksanaan pemilu saat ini berlangsung luber dan jurdil seperti yang digembar gemborkan? Ternyata tidak kan? Banyak kita lihat fakta bahwa kerap ada kecurangan dalam setiap pemilu, entah itu manipulasi jumlah suara sampai money politic.

Selain itu, biaya seseorang yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, presiden, atau pun pemerintah daerah, ternyata tidaklah sedikit. Butuh biaya sampai triliyun-nan untuk biaya kampanye. Hasilnya, setelah mereka menjabat, alih-alih memikirkan kepentingan rakyat, mereka malah sibuk memperkaya diri sendiri untuk mengembalikan modal. Minta gaji selangitlah, penyelewengan anggaranlah, korupsilah.

source

Untuk mendapatkan modal yang banyak, tak sedikit para calon yang mendapat sokongan dana dari para pengusaha baik domestik maupun asing. Jadi jangan heran, ketika banyak sekali kebijakan yang memihak kepentingan kelompok tertentu atau para pemilik modal (kapitalis).

Aisy, stop dong!
Jangan memaki gelap tapi nyalakan lah pelita!

Oke, kata-kata ini yang kerap saya terima ketika berdiskusi masalah demokrasi. Jangan memaki gelap, tapi nyalakanlah pelita! Baiklah, bagaimana kalau saya katakan makian saya pada kegelapan ini adalah aksi saya untuk menyalakan pelita bagaimana? Kita tak mungkin menyalakan pelita sebelum kita sadar akan kegelapan yang menyelubungi kita kan? Makanya sebelum menyalakan pelita, pahami dulu akar kegelapannya, agar kita tahu pelita seperti apa yang akan kita nyalakan.
(Bagi yang tidak mengerti maksud paragraf ini, abaikan saja :D)


Pertanyaan terakhir, seperti apa islam memandang demokrasi?
Wah, bahasan berat nih, eit tunggu dulu! sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita mengaitkan segala sesuatu pada aturan Allah kan? Allah suka nggak? Allah ridho nggak? Itu pertanyaan kita.

Saya mengutip pendapat Adi Victoria (penulis buku) mengenai demokrasi dalam sudut pandang islam.
Dari sudut pandang islam , demokrasi telah gagal, rusak, dan menyesatkan karena demokrasi memberi manusia/rakyat kedaulatan atau hak mutlak untuk membuat hukum. Padahal dalam islam kedaulatan (hak membuat hukum) berada di tangan Al-Musyari' yakni Allah SWT. Dengan kata lain dalam islam, kedaulatan ada dalam syariah.

Ketetapan ini berdasarkan dalil,

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS. Yusuf 12:40)

Dari segi kekuasaan, islam menetapkan bahwa kekuasaan berada di tanagn rakyat (as-sulthan li al-ummah), hampir sama dengan demokrasi. Namun diantara keduanya ada perbedaan. Dalam demokrasi kekuasaan diberikan kepada wakil rakyat untuk membuat hukum. Sebaliknya, di dalam islam, kekuasaan diberikan kepada penguasa (khalifah) untuk menjalankan hukum, yakni hukum-hukum Allah SWT atau syariah islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. (Sumber majalah al wa'ie No. 162 Tahun XIV,1-28 Februari 2014).

Ah, bukankah ada nilai-nilai islami dalam demokrasi, misalnya musyawarah?
Pernah berpendapat seperti itu?

Jika cara berfikir kita menggunakan standar nilai kebaikan/keislaman seperti di atas, apakah tidak sama ketika kita menyatakan bahwa dalam perilaku PSK ada nilai islami, karena sang ibu bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya misalkan? Tentu cara berfikir seperti ini salah.

Dalam demokrasi memang ada musyawarah, tapi tidak menjadikan kita menilai bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran islam.
Haram tetaplah haram. Arak tetaplah arak meski di dalamnya ada gula.

Celoteh panjang lebar saya di atas, adalah semua unek-unek di kepala saya. Temans, boleh setuju atau pun tidak. Sekecil apa pun pemikiran kita untuk bangsa ini, semoga ada jejaknya bagi kehidupan bangsa yang lebih baik.

Barangsiapa ( dari umatku ) yang ketika bangun pagi tidak memikirkan nasib umat, maka dia bukan umatku ( umat Nabi Muhammad Saw )”. HR. Ahmad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming