18 April 2014

Dengan Apa Kita Mengukur Kebahagiaan?

credit

 Kemarin saudara saya melangsungkan resepsi pernikahannya. Hanya resepsinya saja, karena akad nikahnya sudah dilaksanakan bulan November lalu. Pihak pengantin pria memabawa cukup banyak hantaran. orang sunda menyebutnya seserahan. Maksudnya hadiah atau pemberian dari pengantian pria untuk pengantin wanita. Barang yang dibawa suami saudara saya lumayan banyak, ada baju, perabotan rumah tangga, barang mebel, elektronik, kumplit. Tak heran memang, karena suami saudara saya berasal dari keluarga yang berada dan kedua orangtuanya merupakan tokoh masyarakat.


Suami saya ikut bantu-bantu semenjak h-2. Dari mulai bantuin ibu-ibu masak, dekorasi, sampai ngangkutin piring kotor bekas prasmanan. Saya nonton aja sambil ngasuh Khoiry. *ketawa lebar

Yang membuat saya kaget adalah perkataan suami setelah acara selesai. Dengan polosnya dia bilang kalau saya ini kasihan sekali. Duh, kok bisa?
"Kasihan ya Neng mah, pas nikah sama Aa nggak dibawain apa-apa."
Begitu katanya sambil ngelus-ngelus rambut saya.

Saya jadi mikir.
Iya juga ya? *plak dilempar panci :P

Saya dengan entengnya menjawab, "Nggak bawa apa-apa gimana? waktu nikah kan Aa bawa seserahan juga. Alhamdulillah."

"Kan cuma sedikit. Nanti kita beli aja ya," sesalnya.

Saya tahu, suami (saya juga) memang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. *gengsi bilang masyarakat menengah ke bawah. Semenjak kecil, suami dan ibu mertua saya harus matian-matian membiayai kehidupan mereka, karena ibu dan ayah mertua saya berpisah. Bahkan ibu mertua saya sampai harus menjual sawah dan perabotan rumah demi menyekolahkan suami saya ke SMK. Suami pernah cerita kalau dulu dia dan ibu sering makan alakdarnya. kadang lauknya hanya kerupuk atau  telur yang dicampur terigu sebelum digoreng agar tambah banyak. Makanya, saat ini suami paling cerewet kalau ada makanan sisa di rumah. Dia mendidik saya, agar selalu menghabiskan makanan. Orang lain mah buat makan aja susah, begitu katanya.

Alhamdulillah suami bisa kerja kemudian kuliah dengan jerih payahnya sendiri.

Kembali lagi ke masalah hantaran nikah.
Mungkin hal ini yang kerap membuat kaum pria sulit memutuskan melamar wanita. Mereka merasa belum mampu untuk mempersembahkan hantaran atau mas kawin yang wah untuk calon istrinya. Padahal, hantaran tidak ada di rukun nikah.
 Bahkan sebaik-baik perempuan pun adalah perempuan yang mudah mas kawinnya.

Lalu apakah saya menyesal dengan hantaran yang sedikit?
Sama sekali tidak. Hal paling penting yang harus dipersembahkan seorang suami kepada istri bukan hantaran, tapi cintanya. Right?

Pernikahan yang bahagian itu tidak dilihat dari penuhnya perabotan rumah, tapi dilihat dari bagaimana suami istri tersebut bisa memenuhi rumah mereka dengan cinta yang dasarnya karena Allah semata. Bagaimana mereka bisa membangun sebuah rumah tangga yang menjadi wasilah bagi terjemputnya jannah.

Sejujurnya saya juga lupa pas nikah suami bawa apa aja. karena saya memang tak pernah mempermasalahkannya. Kasih sayangnya, perhatiannya, sabarnya, lembutnya, sudah lebih dari cukup bagi saya.
Jauh lebih berharga lah ketimbang lemari sama kasur mah.

2 komentar:

  1. Hal paling penting yang harus dipersembahkan seorang suami kepada istri bukan hantaran, tapi cintanya. Right?

    sukaaaa

    Saya mah blm ada yg ngasih hantaran hihih
    Kedua kakak perempuan saya mah gak ada yg ngeributin hantaran. Yg satu dibawain lemari yg satu kagak ^^ tp mereka tetap bahagia

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihii, udah ngarep ada yang ngasih hantaran ya mba jiah?

      Hapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming