22 September 2014

Menjadi Orangtua Tak Perlu Sekolah Tinggi


Kasus kekerasan yang terjadi di baby daycare pertamina beberapa waktu lalu kembali mencuatkan perdebatan antara working mom vs fulltime mom. Para fulltime mom seolah mendapat kekuatan baru untuk menyerang working mom dengan adanya kasus ini. Nyinyir-nyinyiran ala ema-ema pun kembali terjadi. Beberapa hari setelah mendapat berita tentang kekerasan di daycare, saya menemukan sebuah gambar yang berisi percakapan antara kawan lama, dimana yang satu adalah working mom dan yang satu fulltime mom.


Kalau dilihat sekilas, ibu yang fulltime di rumahlah yang menjadi pemenang dalam percakapan ini. Secara dia lulusan UI dan dengan bangga mengejek temannya yang membiarkan anaknya diasuh babysitter lulusan SD. Yang jadi masalah, what's wrong dengan lulusan SD? Hello! Banyak ko ibu yang hanya lulusan SD namun bisa mencetak anak-anak yang luaaaaar biasa. Namun sebaliknya, ada juga ibu yang lulusan luar negeri tapi gagal mendidik anak-anaknya. Jadi saya rasa, jenjang pendidikan bukan penentu keberhasilan seorang ibu dalam mengurus dan mendidik anaknya.

Saya angkat tangan mengenai siapa yang paling baik antara working mom dan fulltime mom. Satu hal yang pasti, setiap perempuan terlahir dengan fitrahnya untuk menjadi seorang ibu yang baik (mengurus dan mendidik anak-anaknya). Hanya saja dalam aktualisasinya, ada yang menjalankan fitrah ini dengan penuh kesungguhan, ada yang asal-asalan atau mungkin tidak sama sekali.

Untuk mendukung peran perempuan sebagai seorang ibu, Allah (sebaik-baik Pencipta) menciptakan tubuh dan sistem tubuh perempuan berbeda dengan laki-laki.

Otak laki-laki dan otak perempuan diciptaikan ber beda. Hormonnya pun beda. Pada saat usia kehamilan 3-4 bulan, saat ruh ditiupkan, dan saat itu pula neural tube bagian depan berkembang pesat dari bagian belakang, menggulung dan akhirnya terbentuk dengan sempurna dua belahan otak.

Sinyal listrik pada bayi laki-laki tidak banyak berlintasan antar dua belahan otak, sedangkan pada bayi perempuan sinyal listrik berlintasan antar dua belahan otak. Sehingga, jembatan (Corpus callosum) antar kedua belahan otak perempuan lebih tebal daripada otak laki-laki.

Corpus callosum adalah bagian dari otak manusia yang menghubungkan belahan otak kiri dengan otak kanan. Sekaligus menghubungkan otak emosional (limbic system) dengan otak rasional (neocortex).
Apa akibatnya?

Otak perempuan lebih mudah mengakses kedua belah otaknya sekaligus limbik dan korteksnya. Sehingga ketika perempuan marah (emosi di sistem limbik meletup-letup), aliran listrik di otak masih aktif ngalir dari limbik ke otak rasionalnya dan sebaliknya, dari otak kanan ke kiri dan sebaliknya. Jatuhnya, paling, kata-katanya yang tidak bisa dikontrol. Sedangkan kalau laki-laki kalau sudah terjebak di emosi, bisa jadi tempramen banget.

Kemudian soal hormonnya. Laki-laki lebih banyak testosteron, sedangkan perempuan lebih banyak serotonin dan oksitosin.

Testosteron bikin orang jadi fokus. Lagi kerja pikirannya ya kerja. Lagi main sama anak pikirannya main sama anak. Chips ini diinstall Allah supaya para ayah menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap keluarganya.

Kalo emak-emak, serotonin lebih banyak karena buat pereda stres apalagi dikala anak-anak balita pada meraung semua! Belum lagi urusan domestik rumahtangga lainnya yang nggak abis-abis. Sedangkan oksitosin dikasih supaya kalo abis kesel ama anak, bisa cepet iba karena sayang. Intinya, perempuan memang diinstal chips multitasking dan self-healing supaya perannya sebagai ibu jadi optimal.

Maka, laki-laki dan perempuan dengan otaknya dan hormonnya yang berbeda itu, sudah dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi ayah dan untuk menjadi ibu.

(Sumber : Miftahul Hidayah photo, on facebook)


MasyaAllah.
Fakta di atas hanya sebagian kecil yang menjelaskan kepada kita bahwa sejatinya Allah sudah menciptakan laki-laki dan perempuan begitu sempurna sesuai dengan perannya masing-masing.

Menurut saya, point utama yang akan menunjang keberhasilan seorang perempuan dalam menjalankan perannya adalah kesadaran yang penuh akan kewajibannya. Mengurus dan mendidik anak, serta mengatur urusan domestik di rumah, itulah kewajiban seorang ibu. 

وَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّمَاۤ اَمۡوَالُكُمۡ وَاَوۡلَادُكُمۡ فِتۡنَةٌ  ۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ عِنۡدَهٗۤ اَجۡرٌ عَظِيۡمٌ‏ ﴿۲۸﴾ 

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Al Anfaal 28)

Lantas apakah islam melarang seorang perempuan bekerja? Sama sekali tidak. Hukumnya mubah kok. Boleh seorang perempuan bekerja dengan catatan dia tidak melalaikan apa yang menjadi kewajibannya.

Kembali ke kasus day care tadi, saya rasa kasus kekerasan memang mungkin saja terjadi di tempat penitipan anak dengan melihat kondisi di daycare yang mengharuskan seorang pengasuh menghandle beberapa orang anak. Kalau satu dua orang anak, mungkin masih oke, tapi kalau sampai lebih dari lima? Ala maa. *tepok jidat. Belum lagi ketika masing-masing anak menuntut keinginannya dipenuhi dalam waktu bersamaan. Seseorang dengan kadar sabar yang terbatas pasti mengalami prustasi yang kemudian melampiskannya dengan berlaku keras kepada anak-anak. Kita kan nggak tahu bagaimana watak para pengasuh di day care. Faktor yang lain adalah faktor hubungan darah. Para pengasuh di day care bisa saja peduli dengan anak kita, tapi memberikan cintanya pada anak kita? Hal ini pula yang memungkin mereka untuk melakukan kekerasan. Anak orang ini.

Dengan mencermati kasus di atas, seorang anak memang lebih baik ketika di asuh oleh ibunya. Tak peduli ibunya lulusan UI atau hanya lulusan SD. Percuma kan kalau lulusan UI tapi nggak sadar akan kewajibannya? Seorang ibu memiliki perasaan yang kuat untuk melindungi anak-anaknya dan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Chemistry seorang ibu dan anak tak ada yang menandingi. Ini kenapa islam mewajibkan seorang ibu untuk mendidik anak-anaknya. Karena dibalik seseorang yang sukses, ada peran seorang ibu di belakangnya.

Regard,
Ummu Dzikro al Khoir

2 komentar:

  1. Setuju banget mbak... bknnya sy tdk setuju wanita bekerja tp sy lbh memilih berhenti kerja demi anak sy...klo sy sih rejeki sdh ada yg mengatur, gak bakal ketuker... iya kan mbak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, boleh kok perempuan bekerja asal kewajibannya tak terlalaikan. kayak mbak contohnya, kerja di rumah. ngasuh anak sambil ngasilin uang :)

      siip rizki setiap orang sudah diatur sama Allah SWT. percaya saja, asal ikhtiarnya udah poool

      Hapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming