9 Juni 2015

Antara Najwa Shihab dan Gen Halilintar


Saya terkesan dengan sambutan Najwa Shihab ketika dia memenangkan Panasonic Gobel Award dalam kategori presenter Talkshow terfavorit.
“Mendapatkan penghargaan dari pekerjaan yang kita cintai sangatlah istimewa,” katanya sambil mengangkat piala yang digenggamnya.

credit
Perkataannya mengilhami saya akan satu hal, yaitu tentang pekerjaan utama saya saat ini. Yap! Ibu rumah tangga. Kok nggak nyambung? Kita sambungkan! Ada dua hal utama dalam sambutan Najwa tadi, Pekerjaan yang kita cintai dan penghargaan.
Dewasa ini, banyak kaum ibu yang justru tak merasa istimewa karena status yang disandangnya (termasuk saya). Seringnya malah biasa saja bahkan merasa minder. Sekolah tinggi-tinggi kok cuma jadi ibu rumah tangga, begitu kira-kira komentar miring para komentator. Sudah nggak zamannya lagi perempuan terkungkung dengan sumur, dapur, dan kasur. Saat ini perempuan harus maju, harus punya karier yang cemerlang. Begitu kira-kira kampanye rutin para feminis. Apa salah perempuan berkarier? Tentu tidak! Yang jadi masalah adalah ketika karier perempuan di luar rumah meredupkan karier perempuan di dalam rumah.

Karena cara pandang dan paradigma masyarakat tentang seorang perempuan yang sukses kini bergeser dari yang sebenarnya, -dari mencetak generasi-generasi cemerlang ke mencetak angka-angka di buku tabungan- kebanyakan kaum ibu terprovokasi dan berbalik menyesali atau membenci diri sendiri ketika tak memiliki karier selain ibu rumah tangga.

Padahal, seperti kata Najwa Shihab tadi, mendapatkan penghargaan dari pekerjaan yang kita cintai sangatlah istimewa. Jadi, sudah saatnya kini kaum ibu mencintai statusnya sebagai seorang ibu. Jangankan ketika seorang ibu mencintai pekerjaannya, ketika tak mencintai pekerjaannya sekalipun dia tetap mendapat penghargaan dari Allah dan Rasul-Nya.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا

رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟

قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Dari Abu Hurairah r.a, Rasululloh saw bersabda, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Apa kita tak merasa istimewa atas penghargaan dari kekasih Allah ini?

Lalu apa hubungannya dengan Gen Halilintar?


Akhir-akhir ini, keluarga luar biasa ini banyak menyedot perhatiannya saja. Betapa tidak, ketika ibu-ibu ber-KB ria dan ketika pemerintah getol-getolnya mengkampanyekan dua anak cukup, keluarga ini malah mengkampanyekan dua anak tidak cukup. Aish! Benar-benar keluarga anti mainstream. Sebelas orang anak! Ala maaa, saya malah tak pernah berfikir punya anak sebanyak itu.

Meskipun pasangan suami istri ini memiliki banyak anak, nyatanya mereka berdua bisa mengurusnya dan mendidiknya dengan baik. Anak-anak mereka tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas, mandiri, dan insyaAllah shalih. Saya membayangkan betapa hebatnya ibu mereka, Lenggogeni Faruk, beliau satu orang ibu yang bagaikan 5 orang ibu. Mengurus anak yang banyak tanpa asisten rumah tangga tentu bukan hal yang mudah. Yang menjadi kekhawatiran saya dan mungkin ibu-ibu lain untuk memiliki banyak anak, yaitu tentang kekhawatiran tidak bisa mendidik kesemuanya, terhapus sudah oleh ibu hebat satu ini.

Menurut saya, tak ada hal lain yang membuat ibu Lenggogeni Faruk bisa menjadi ibu yang super selain kecintaanya pada pekerjaannya (sebagai ibu). Nampaknya dia faham betul akan penghargaan Allah dan rasul-Nya pada seorang ibu.

Menjadi seorang ibu bukanlah profensi yang wajar saja atau bahkan main-main. Menjadi seorang ibu artinya kita siap membangun sebuah masa depan.

5 komentar:

  1. Tulisan yang semakin menguatkan betapa Allah sangat memuliakan perempuan, tapi kadang perempuan sendri tidak mau dimuliakan...semga kelak saya jg bsa jdi ibu dan istri yg baik... nice mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. butuh proses untuk menyadari betapa kita (sebenarnya) telah dimuliakan.
      aaamiin semoga doanya diijabah, kak:)

      Hapus
  2. Saya mengalami itu, sering dilecehkan hanya karena saya tidak berkarir di luar rumah ... alhamdulillah sekarang ngeblog dan menulis bisa memulihkan kepercayaan diri saya sekaligus membuktikan kepada orang2 bahwa walaupun dari rumah, ada karya yang bisa saya hasilkan.

    Gen Halilintar luar biasa. Mereka pun sudah bisa membagi tugas kepada anak2nya. Masing2 anak punya tugas. Dan yang tak kalah pentingnya, secara materi mereka sangat tercukupi

    Ini dilema lagi, banyak pula orang yang punya anak, ibunya harus banting tulang menghabiskan waktu dengan bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari2. MMau tidak mau ada waktu yang berkurang buat anak2 dan keluarganya.

    Yaah ... kehidupan. Banyak pelajaran, banyak pula problemanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. butuh prose ya, bun. untuk mengembalikan kepercayaan diri lagi.. saya pun sedang mencobanya. semoga berhasil.

      jujur saya banyak mengambil pelajaran bagaimana bu lenggogeni, mengatur dan menanamkan kemandirian pada anak-anaknya. jadi tertarik untuk punya banyak juga :)

      sestem saat ini, yang memaksa perempuan keluar rumah. entah itu tuntutan hidup atau hanya demi gaya hidup..

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming