11 November 2013

Resensi : Kunang-kunang tanpa Cahaya


Judul buku : Kunang-Kunang Tanpa Cahaya
Penulis : Asya Mujahidah
Penerbit : Al Azhar Fresh Zone Publishing
Cetakan : Cetakan pertama, September 2011
Tebal : 352 halaman

Kunang-kunang Tanpa Cahaya. Pertama kali membaca judul novel yang ditulis seorang ibu muda ini, pikiran kita langsung tertuju pada sebuah kata “ketidaksempurnaan”. Ya, seumpama kunang-kunang yang tak memiliki cahaya. Padahal cahaya itulah bagian terpenting dari hidupnya.

Sesuai dengan judulnya, novel ini menceritakan kepincangan hidup seorang gadis bernama Erlinda. Bagaikan seekor kunang-kunang yang tak memiliki cahaya, dia harus rela terbang dalam kegelapan dan terpisah jauh dari kawanannya. Dia dan adiknya terlahir dari pasangan kumpul kebo yang telah hidup bersama selama dua puluh tahun. Orang tua mereka tak pernah menganggap sakral sebuah pernikahan. Bagi mereka, pernikahan hanya akan menjadi tembok penghalang cinta mereka yang notabene berbeda agama. Agama tak berhak menghalangi cinta, begitu anggapan mereka.

Sejak kecil Erlinda sudah mengalami banyak tekanan dari orang-orang di sekitarnya yang mempermasalahkan ikatan keluarga mereka. Karena itulah Erlinda tumbuh menjadi seorang gadis yang cuek, terkesan galak, dan sangat tertutup. Menginjak dewasa, Erlinda tersadar jika ada yang salah dalam hidupnya. Dengan berbekal tekad yang kuat dan kekecewaan yang dalam pada kedua orang tuanya, Erlinda pergi meninggalkan rumah. Dia hanya ingin tahu siapa dirinya. Dia hanya ingin tahu untuk apa sebenarnya dia hidup. Selayaknya kunang-kunang yang meraba-raba gelap untuk menemukan kembali cahayanya.

Membaca awal cerita di novel ini, pembaca akan sedikit kewalahan dengan alurnya yang terkesan cepat. Tapi setelah sampai di tengah cerita, penulis dengan sukses membuat pembaca ikut terbang bersama sang kunang-kunang yang mencari cahayanya. Di awali dari kehidupan baru Erlinda di stasiun kota bersama tiga orang preman sahabatnya dan pertemuan Erlinda dengan seorang gadis berjilbab yang ternyata adalah sepupunya sendiri, perjalanan kunang-kunang ini menentukan titik mulanya. Dari perjalanan hidupnya bersama mereka, sedikit demi sedikit Erlinda mulai memahami hakikat kehidupan sesungguhnya. Dia mulai mengerti tentang adanya penciptaan dan kehidupan sesungguhnya setelah kehidupan di dunia.

Setelah lelah mengikuti sang kunang-kunang terbang, pembaca akan disunguhkan ending yang menawan tentang pertaubatan kedua orang tua Erlinda. Ibunya yang kembali pada keluarganya dan ayahnya yang mulai mempelajari islam. Erlinda sangat bahagia karena bisa bertemu dengan keluarga besarnya dan hidup dengan cahaya yang selama ini dicarinya.

Meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga, penulis bisa memainkan karakter dalam novel ini dengan cukup sempurna, entah itu sebagai Erlinda yang cuek atau pun gadis berjilbab yang cerewet. Namun penulis kurang bisa menghidupkan karakter tiga orang preman yang diciptakannya. Mungkin karena penulis tak memiliki gen seorang preman. ^,^

Selain itu, penulis juga piawai menggambarkan latar dari novel ini, hingga ketika membacanya kita merasa berada di tiga kota berbeda yang menjadi latar dari cerita ini, Bekasi, Depok, dan Serang.

Gaya bahasanya mengalir meski di beberapa narasi ada sebagian rangkaian kata yang kurang bisa dinikmati. Tapi, dengan menghadirkan puisi-puisi pendek yang berhubungan dengan cerita diawal-awal bab, kekurangan itu sedikit banyak tertutupi karena rangkaian katanya yang sederhana namun indah.

Bagi teman-teman yang cepat jenuh ketika membaca buku, jangan khawatir. Karena novel ini hadir dengan ilustrasi yang apik di setiap halamannya. Ilustrasi-ilustrasinya dijamin bisa menjaga mood dan memanjakan mata teman-teman.

Terakhir, novel dengan desain sampul bergambar rel kereta di pagi hari ini, wajib dibaca oleh setiap jiwa yang sampai sekarang masih mencari cahaya. Karena novel ini akan menuntun kita pada beberapa makna yang kita cari selama ini. Makna tentang hidup, cinta, persahabatan, dan kata maaf. Novel ini juga mengingatkan kita semua bahwa sejatinya perjalanan mencari cahaya itu takkan pernah berakhir selama matahari masih terbit di ufuk timur.

Jika boleh diibaratkan, manusia itu ibarat kunang-kunang, gelap itu adalah dunia yang kita pijaki selama ini, dan cahaya itu tentu saja islam. Jadi, kunang-kunang tanpa cahaya, seolah manusia yang tak tahu aturan untuk menerangi jalannya di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming