Penulis : Asya Mujahidah
Penerbit : Al Azhar Fresh Zone Publishing
Cetakan : Cetakan pertama, September 2011
Tebal : 352 halaman
Kunang-kunang Tanpa Cahaya. Pertama kali membaca judul novel yang
ditulis seorang ibu muda ini, pikiran kita langsung tertuju pada
sebuah kata “ketidaksempurnaan”. Ya, seumpama kunang-kunang yang
tak memiliki cahaya. Padahal cahaya itulah bagian terpenting dari
hidupnya.
Sesuai dengan judulnya, novel ini menceritakan kepincangan
hidup seorang gadis bernama Erlinda. Bagaikan seekor kunang-kunang
yang tak memiliki cahaya, dia harus rela terbang dalam kegelapan dan
terpisah jauh dari kawanannya. Dia dan adiknya terlahir dari pasangan
kumpul kebo yang telah hidup bersama selama dua puluh tahun. Orang
tua mereka tak pernah menganggap sakral sebuah pernikahan. Bagi
mereka, pernikahan hanya akan menjadi tembok penghalang cinta mereka
yang notabene berbeda agama. Agama tak berhak menghalangi cinta,
begitu anggapan mereka.
Sejak kecil Erlinda sudah mengalami banyak tekanan dari orang-orang
di sekitarnya yang mempermasalahkan ikatan keluarga mereka. Karena
itulah Erlinda tumbuh menjadi seorang gadis yang cuek, terkesan
galak, dan sangat tertutup. Menginjak dewasa, Erlinda tersadar jika
ada yang salah dalam hidupnya. Dengan berbekal tekad yang kuat dan
kekecewaan yang dalam pada kedua orang tuanya, Erlinda pergi
meninggalkan rumah. Dia hanya ingin tahu siapa dirinya. Dia hanya
ingin tahu untuk apa sebenarnya dia hidup. Selayaknya kunang-kunang
yang meraba-raba gelap untuk menemukan kembali cahayanya.
Membaca awal cerita di novel ini, pembaca akan sedikit kewalahan
dengan alurnya yang terkesan cepat. Tapi setelah sampai di tengah
cerita, penulis dengan sukses membuat pembaca ikut terbang bersama
sang kunang-kunang yang mencari cahayanya. Di awali dari kehidupan
baru Erlinda di stasiun kota bersama tiga orang preman sahabatnya dan
pertemuan Erlinda dengan seorang gadis berjilbab yang ternyata adalah
sepupunya sendiri, perjalanan kunang-kunang ini menentukan titik
mulanya. Dari perjalanan hidupnya bersama mereka, sedikit demi
sedikit Erlinda mulai memahami hakikat kehidupan sesungguhnya. Dia
mulai mengerti tentang adanya penciptaan dan kehidupan sesungguhnya
setelah kehidupan di dunia.
Setelah lelah mengikuti sang kunang-kunang terbang, pembaca akan
disunguhkan ending yang menawan tentang pertaubatan kedua orang tua
Erlinda. Ibunya yang kembali pada keluarganya dan ayahnya yang mulai
mempelajari islam. Erlinda sangat bahagia karena bisa bertemu dengan
keluarga besarnya dan hidup dengan cahaya yang selama ini dicarinya.
Meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga, penulis bisa
memainkan karakter dalam novel ini dengan cukup sempurna, entah itu
sebagai Erlinda yang cuek atau pun gadis berjilbab yang cerewet.
Namun penulis kurang bisa menghidupkan karakter tiga orang preman
yang diciptakannya. Mungkin karena penulis tak memiliki gen seorang
preman. ^,^
Selain itu, penulis juga piawai menggambarkan latar dari novel ini,
hingga ketika membacanya kita merasa berada di tiga kota berbeda yang
menjadi latar dari cerita ini, Bekasi, Depok, dan Serang.
Gaya bahasanya mengalir meski di beberapa narasi ada sebagian
rangkaian kata yang kurang bisa dinikmati. Tapi, dengan menghadirkan
puisi-puisi pendek yang berhubungan dengan cerita diawal-awal bab,
kekurangan itu sedikit banyak tertutupi karena rangkaian katanya yang
sederhana namun indah.
Bagi teman-teman yang cepat jenuh ketika membaca buku, jangan
khawatir. Karena novel ini hadir dengan ilustrasi yang apik di setiap
halamannya. Ilustrasi-ilustrasinya dijamin bisa menjaga mood
dan memanjakan mata teman-teman.
Terakhir, novel dengan desain sampul bergambar rel kereta di pagi
hari ini, wajib dibaca oleh setiap jiwa yang sampai sekarang masih
mencari cahaya. Karena novel ini akan menuntun kita pada beberapa
makna yang kita cari selama ini. Makna tentang hidup, cinta,
persahabatan, dan kata maaf. Novel ini juga mengingatkan kita semua
bahwa sejatinya perjalanan mencari cahaya itu takkan pernah berakhir
selama matahari masih terbit di ufuk timur.
Jika boleh diibaratkan, manusia itu ibarat kunang-kunang, gelap itu
adalah dunia yang kita pijaki selama ini, dan cahaya itu tentu saja
islam. Jadi, kunang-kunang tanpa cahaya, seolah manusia yang tak tahu
aturan untuk menerangi jalannya di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming