3 Februari 2012

LARUTAN HUJAN

Sebenarnya tulisan ini untuk diikutkan pada sebuah lomba menulis, tapi karena deadlinenya keburu lewat. Akhirnya diposting saja di laman ini ^^



Dalam pergantian siang dan malam ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berfikir.”

Dalam setiap pergantian siang dan malam ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil jika kita bersedia untuk mentafakurinya. Entah itu matahari, berputarnya matahari, kelahiran, kematian, bahkan hal kecil seperti semut-semut yang berjalan. Setiap apa yang ada di alam semesta bersinergi dan menggemakan keagungan-Nya.

Bagiku, ada suatu proses di alam yang memberikan pelajaran sekaligus memberikan efek yang sangat besar pada kehidupanku. Ia adalah hujan. Aku sangat menyukai hujan. Entahlah, selalu ada perasaan yang lain setiap kali tetes-tetesnya mulai terdengar di atas genteng rumah.

***


Sore ini hujan turun lagi dan lagi-lagi aku memaku diri di mulut jendela. Menyaksikan bulir hujan yang menari serta memintal secuil asa dari tariannya sebelum mereka pecah di tanah. Entah sudah berapa kubik air yang tumpah ruah ke bumi dan entah sudah berapa pintalan asa yang kukumpulkan sejak hujan mulai turun sampai ketika selokan-selokan telah luber tergenangi air. Aku tak tahu. Yang aku fahami hanya sebuah keinginan jika aku tak ingin beranjak dari tempatku sebelum hujan benar-benar reda.


Bagiku, hujan selalu menyuguhkan perasaan yang berbeda setiap kali tetes-tetesnya mulai terdengar di atas genteng rumah. Entah perasaaan apa. Yang jelas perasaan itu selalu membuatku hanyut dan tenggelam. Tenggelam pada sungai-sungai pertanyaan yang bermuara pada samudera jawaban. Yah, jawaban atas setiap pertanyaaan yang sekian lama membuat dadaku sesak.


Kalian tahu? Mengapa dulu aku sering melayangkan beribu mengapa pada-Nya?

Sebelum aku menulis kisah ini, aku hanyalah seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana. Bapakku adalah seseorang yang terampil membuat perabotan-perabotan dari kayu. Penghasilannya tak seberapa, tapi cukup membuatku, ibu, serta ketiga adikku tetap mencicipi nasi. Ibuku adalah Fatimah binti Muhammad yang hidup di abad 20. Betapa dia seperti Fatimah yang tak pernah mengeluh meski tangannya melepuh, yang tak pernah memaki meski membeli baju hanya setahun sekali. Sedangkan aku, aku tumbuh menjadi anak yang tahu diri.


Tak tahu diri. Yah, itulah cap yang aku terima dari saudara bahkan tetangga-tetanggaku ketika aku mengutarakan keinginanku untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Kata mereka aku tak tahu diri. Sudah tahu Bapak hanya tukang kayu, eh maksa untuk melanjutkan sekolah. Ke SMA favorit pula. Bisa sekolah sampai SMP saja sudah untung. Jadi anak itu harus mengeti keadaan orangtua. Ah, tapi sedikit pun aku tak memperdulikan tanggapan-tanggapan negatif dari mereka. Kuakui saja, jika aku memang tak tahu diri. Atau lebih tepatnya, aku lupa siapa diriku ketika aku berhadapan dengan lukisan mimpi yang telah kususun di atas kanvas imaji. Salahkah jika aku bermimpi untuk memperbaiki kehidupan keluargaku? Salahkah jika aku bermimpi di hari esok nanti aku bisa memberikan kebahagiaan kepada keluargaku? Dan menurutku, hanya dengan sekolah tinggilah aku bisa mewujudkan itu semua. Sejak dulu aku bercita-cita manjadi guru. Aku ingin mengajar. Dan tekadku, jika aku berhasil dan punya uang banyak, aku ingin membantu setiap anak yang kesulitan untuk belajar. Aku ingin membangun sekolah gratis untuk mereka. Aku tak ingin lebih banyak lagi orang yang merasakan seperti apa yang aku rasakan. Terlebih, aku tak ingin lagi melihat adik-adik kecilku makan hanya dengan terasi. Tak ingin lagi melihat ibu menambal bajunya yang robek dan itu pun sudah ditambal berkali-kali. Dan aku pun tak ingin lagi melihat Bapak yang bekerja sampai larut tapi tak dihargai dengan semestinya. Benar-benar tak ingin lagi. Maka, saat itu kuputuskan untuk menutup telinga dan membiarkan kakiku berlari untuk menuntaskan setiap angan. Mengapa harus aku yang merasakannya? Ini pertanyaanku yang pertama.


Tuhanku Maha Mendengar, maka dengan rahman-Nya, Dia memudahkan jalanku. Saat itu aku bisa menjadi siswa di SMA impianku dengan mendapat beasiswa. Dan sejak saat itulah aku yakin, jika kita bermimpi maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita.


Kehidupan baruku sebagai siswi SMA pun di mulai. Aku tak begitu kesulitan untuk mengikuti setiap pelajaran, tapi yang membuatku susah bergerak adalah teman-temanku. Betapa tidak, mereka sangat jauh berbeda denganku. Aroma kemewahan meruar dari tubuh mereka, sementara aku? Aku merasa terasing dan sangat sulit untuk beradaptasi dengan mereka. Yang masih terekam jelas dalam benakku adalah ketika aku menyimpan uang jajanku selama satu bulan agar aku bisa memenuhi ajakan temanku untuk nonton ke bioskop. Geli juga jika aku mengingat bagaimana aku menahan lapar setiap istirahat, dan setelah uang itu terkumpul, kuhabiskan begitu saja dalam hitungan jam. Membeli tiket nonton, makan di kafe dan tentunya ongkos untuk pulang pergi ke bioskop pun tak sedikit. Benar-benar mubajir. Tapi ya sudahlah, setidaknya aku bisa sekali merasakan bagaimana hidup seperti remaja-remaja umumnya. Sekali. Cukup sekali itu saja.


Kesulitanku bukan hanya itu. Tapi uang buku dan iuran-iuran dadakan terkadang membuat Bapak kewalahan. Ah, ternyata perjalanan ini tak semulus yang kukira. Mau mundur ke belakang, rasanya tak ingin, tapi untuk melangkah ke depan? Aku tak tahu aral seperti apa lagi yang akan mengganggu perjalananku. Dengan mengantongi rasa malu, kuputuskan untuk berjualan gorengan ke sekolah. Ya Allah, kalian bisa bayangkan kan bagaimana sulitnya aku untuk memulai? Sekali lagi, keadaan teman-temankulah yang membuatku rendah diri. Sekolah favorit. Jadi pantas saja jika yang duduk di bangku-bangkunya adalah orang-orang yang juga favorit. Favorit setiap mata yang setiap hari bersentuhan dengan kesulitan.

Hari pertama aku berjualan, aku hanya berani menyimpan daganganku di atas meja sendiri. Alhamdulillah, reaksi teman-temanku jauh berbeda dari yang kubayangkan. Mereka menerima. Mereka menjadi pelanggan tetapku. Mungkin, ini hal pertama bagi mereka menyaksikan temannya sendiri berjualan gorengan ke sekolah. Mereka sering melontarkan kata-kata pujian padaku. Berkata jika aku anak rajin dan mau membantu orang tua, tapi ada pula yang terkadang memandang sebelah mata ketika mereka tahu, aku melakukan ini bukan karena aku rajin. Tapi karena butuh! Aku butuh uang agar aku bisa tetap sekolah. Aku butuh uang agar aku bisa membuktikan pada dunia jika anak tukang kayu pun berhak sekolah di SMA favorit. Dan aku sangat butuh uang, agar kelak aku bisa membahagiakan kedua orangtuaku.


Singkat cerita, aku berjualan setiap hari ke sekolah. Menenteng kantung keresek besar yang meruar bau jelantah. Aku tak peduli pada mata-mata yang meremehkan setiap kali melihatku menenteng keresek besar itu. Aku mencoba tak peduli. Bahkan aku tak peduli ketika setiap hari teman-teman mengejekku karena pada suatu kesempatan, pernah aku ditanya guruku tentang materi yang sedang dijelaskannya. Aku tak merespon, malah sibuk menghitung laba hasil jualanku. Tawa teman-temanku pecah dan tak henti mengejekku. Ke sekolah itu belajar, bukan nyari uang. Kata-kata itu yang membuat dadaku sesak. Ingin sekali aku memaki mereka. Namun aku urung, hanya memaki mereka dalam diam. Kalian tak merasakan apa yang aku rasakan! Kalian takkan pernah mengerti!


Suatu ketika pernah aku ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Berharap di telan bumi atau di terbangkan angin saja. Saat itu aku benar-benar marah pada diriku sendiri, kenapa aku harus jatuh cinta pada seseorang yang jauh di atasku. Hah, rasanya ingin meledak. Ketika laki-laki yang kusukai tahu jika aku menyukainya. Dan sejak saat itulah dia selalu menghindar setiap kali bertemu atau sekedar berpapasan dengaku. Ingin sekali aku menjerit. Hey kamu! Memangnya salah jika aku menyukaimu? Aku tak punya kuasa apa-apa atas hatiku. Dialah yang membuatku menyukai. Salahmu sendiri. Kenapa kamu terlihat begitu indah di mataku. Aku benar-benar frustasi saat itu. Mengapa takdirku seperti ini? Aku bertanya lagi.


Hari demi hari, aku mulai bisa berdamai dengan keadaan. Dan aku sadar, jika perasaan cintaku saat ini adalah sebuah perasaan yang salah. Masih ada Dia yang seharusnya kucintai lebih sungguh dan lebih dulu. Dan yang membuatku bertekad lebih kuat untuk menjaga hatiku adalah perkataan-Nya dalam surat Al isra ayat 32, “Janganlah sekali-kali kamu mendekati zina.” yah, dan punya pacar, menurutku adalah salah satu aktivitas yang mendekatkanku pada zina dan sudah tentu pada murka-Nya.


Hingga sampai pada tanggal 26 April 2010, aku bisa mengantongi kata lulus dari SMA. Tak bisa kulukiskan perasaanku saat itu. Ada syukur, ada juga secuil khawatir yang menyelinap diam-diam. Apakah aku bisa kuliah? Dengan cara apa orangtuaku bisa membiayai kuliahku yang mahalnya selangit? Pertanyaaan-pertanyaan itu yang kerap muncul di benakku.


Hingga pada akhirnya, ketika teman-temanku sibuk mendaftar ke universitas tujuan mereka, aku malah sibuk mengacak-ngacak Mr. Google untuk mencari informasi beasiswa. Aku sempat mendaftar ke dua Universitas yang berbeda, namun aku gagal. Ternyata rencana-Nya tak sama dengan rencanaku. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Lagi-lagi aku bertanya.


Ketika teman-temanku sibuk menyiapkan diri untuk menjalani UTS, aku sibuk menyiapkan diriku untuk melangsungkan pernikahan. Yah, setelah beberapa bulan diam di rumah, akhirnya Allah mempertemukanku dengan jodohku dan ibu sebagai perantaranya. Calon suamiku adalah adik dari sahabat ibu. Dia laki-laki yang baik. Mandiri dan bisa bertanggungjawab. Terlebih, dia pun punya kisah hidup yang sama denganku. Bersakit-sakit untuk bisa merajut mimpi.


Sebelum aku disibukkan dengan persiapan pernikahan, aku lebih dulu disibukkan dengan pandangan negatif orang-orang tentangku. Mereka ramai-ramai membicarakanku karena setelah lulus aku tak melamar pekerjaan seperti teman-temanku yang lainnya. Aku malah membuka les frivat di rumah dan mengajar anak-anak tetanggaku mengaji. Hey, ini kan cita-citaku. Aku ingin mengajar, aku ingin setiap orang bisa belajar tanpa disulitkan oleh keadaan. Aku ingin mencoba mewujudkan cita-citaku meski aku tak duduk di bangku kuliah. Dan aku pikir, untuk apa aku melakukan suatu pekerjaan yang tak kusukai, seperti menjadi SPG, persis apa yang orang-orang sarankan untukku.


1 April 2011 adalah hari dimana aku resmi menjadi seorang istri. Teman-temanku datang memenuhi undanganku. Kebanyakan dari mereka tak menyangka jika aku akan menikah secepat ini. Aku yang terkenal pendiam, menikah lebih dulu dari mereka. Ini kah yang disebut takdir?


Setelah menikah, aku bisa merasakan kebahagian yang teramat sangat. Suamiku sangat menyayangiku. Dan setiap hari jiwaku selalu hangat oleh perhatiannya. Apalagi kini kebahagiaanku bertambah setelah tumbuhnya seorang mujahid dalam rahimku.


Allah memang selalu menjawab setiap doa-doa hamba-Nya dengan indah. Dikabulkan, tak mesti apa yang kita harapkan terkabul, tapi ketika Dia mengganti sesuatu dengan yang lebih baik, itu pun salah satu caranya untuk menjawab doa kita.

***


Dulu, jauh sebelum hari ini, aku selalu bertanya pada pencipta hujan. Mengapa aku dilahirkan seperti ini? Mengapa takdirku seperti ini? Dan mengapa harus aku yang merasakan semua ini? Beribu mengapa selalu kulayangkan padanya setiap kali hujan mencumbui bumi. Seperti yang kukatakan di awal, setelah aku tenggelam pada sungai pertanyaan-pertanyaan ini, maka aku akan sampai pada muara jawaban yang membuat hatiku damai. Mengapa aku dilahirkan seperti ini? “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Al BAqarah 216)



Dan bukankah hidup kita pun berproses selayaknya hujan? Sebelum hujan turun, maka kita akan menjumpai kemarau yang panjang, awan-awan gelisah, kilat yang silang menyilang dan guntur yang menggelegar. Lalu setelah proses itu berlalu turunlah hujan dengan janji kehidupan yang dibawanya.

Dulu, sebelum aku merasakan nikmat ini, aku mengalami dulu kemarau panjang, awan-awan gelisah, kilat yang silang menyilang dan guntur yang menggelegar dalam hidupku. Namun ketika kita bersabar, turunlah hujan yang membuat tubuh kita kuyup oleh nikmat. Dari hujan aku belajar banyak hal. Tentang kesabaran dan tentang proses panjang untuk meraih sesuatu yang kita inginkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming