“Tidak
halal bagiku menyia-nyiakan satu jam dari umurku sehingga lisanku
berhenti dari mudzakaroh dan mataku berhenti dari MEMBACA.”
Ibnu Aqil al-Hambali.
Tidak
semua orang faham dengan ucapan Imam Hambali yang luar biasa ini.
Namun sepertinya, kedua orangtuaku sangat memahaminya, hingga mereka
sudah mencekokiku dengan buku semenjak aku kecil, meski saat
itu aku belum bisa membaca. Aku masih ingat, dulu, Bapak sering
pulang dengan membawa majalah bobo bekas yang dia dapatkan dari anak
Bosnya dimana dia bekerja. Yah, Bapak hanya sanggup membawakanku buku
bekas. Tapi aku faham. tak pernah ada kata BEKAS untuk sebuah ilmu.
Jadi, meskipun majalahnya terkadang sudah tak utuh, aku tetap senang
menerimanya, bahkan sangat senang.
Kecintaanku
pada buku ini berlanjut hingga aku sekolah, sampai akhirnya ketika
aku duduk di bangku SMP, aku dipercaya menjadi pengurus perpustakaan.
Dan, berkat membaca juga, kini aku bisa mengembangkan bakatku di
dunia tulis menulis.
Jika
membaca pengalamanku dengan dunia membaca di atas, sungguh tak
menarik bukan? Kesannya biasa-biasa saja. Tapi aku punya pengalaman
lain yang kurasa cukup unik tentang dunia membaca ini.
Kalian
tahu Jepang kan? Penduduk di negeri matahari terbit ini kerap kali
disebut sebagai orang-orang yang memiliki kedisiplinan tinggi.
Menurut cerita guruku sewaktu SD, katanya orang-orang di Jepang
senang membaca buku ketika dalam perjalanan. Berbeda dengan orang
Indonesia yang kebanyakan menghabiskan hampir seluruh waktunya ketika
di perjalanan dengan terlelap alias tidur. ^^ (Termasuk saya).
Sekarang, lihatlah hasilnya! Jepang lebih maju dibandingkan
Indonesia.
Akhirnya,
berbekal tekad yang kuat ingin seperti orang Jepang, aku selalu
membawa buku setiap kali bepergian. Berharap, di perjalanan nanti aku
bisa memanfaatkan waktu untuk membaca. Hasilnya? Sungguh jauh dari
harapan.
Misalnya
saja, saat pulang kampung bulan Desember kemarin. Tak
tanggung-tanggung aku menyiapkan satu buku dan satu majalah yang
rencananya akan kulahap selama perjalanan dari Tangerang ke Sumedang.
Tapi sampai aku menginjakan kaki di Sumedang, buku-buku itu tak
kusentuh sama sekali.
Sebelum
bus berangkat dari terminal kampung rambutan, aku sudah mabuk duluan.
Mungkin karena kondisi badanku yang sedang hamil 4 bulan menyebabkan
tubuhku jadi sangat sensitif dengan bau-bauan, termasuk bau
kendaraan. Dan ketika bus berangkat, satu, dua, tiga, empat, lima,
enam, pengamen dan pedagang asongan masuk ke dalam bus silih
berganti. Bus yang sudah penuh sesak dengan penumpang, bertambah
sesak dengan kehadiran mereka dan suara bising mereka.
“Yang
aus, yang aus.!!”
“Kacang
bogor, 5000 tiga.”
“Ya,
Ibu ibu Bapak Bapak, ini adalah senter serba guna yang bisa digunakan
kapan saja dimana saja.”
“Hayang
kawin win win win hayang kawin..... sya la lala.”
Kurang
lebih, seperti inilah kondisinya. Bisa kah kalian membaca dengan
nyaman di saat seperti ini. Tidak!
Bus
baru steril dari pengamen dan pedagang asongan, ketika telah masuk ke
jalan tol. Dan di jalan tol pun, aku tak punya kesempatan untuk
membaca. Hhihii, karena tadi sudah cukup lelah bersentuhan dengan
pengamen dan pedagang asongan, ketika bus telah sepi, aku terlelap
dengan sangat pulasnya :)
Keluar
dari pintu tol, kebisingan kembali terjadi. Kini di tambah dengan
macet, udara yang sangat panas dan bau keringat yang bercampur asap
kendaraan. Sungguh tak nyaman. Selain itu, suara bising klakson yang
dibunyikan oleh pengemudi-pengemudi yang tak sabaran juga menambah
panas udara siang itu. Benar-benar tak nyaman untuk membaca bukan?
Akhirnya
aku mengambil sebuah kesimpulan, jika orang-orang di Jepang senang
membaca di perjalanan karena memang kondisinya membuat mereka nyaman
untuk membaca. Dimulai dari sarana transfortasi yang baik dan
tertibnya lalu lintas di sana. Sedangkan di Indonesia? Meskipun tak
semuanya sama seperti ceritaku di atas, tapi kebanyakan faktanya
memang seperti itu. Di Indonesia, jumlah kendaraan pribadi dan motor
terus meningkat tiap tahunnya. Hal ini tentu saja menyebabkan jalan
semakin penuh sesak dengan besi-besi berjalan dan polusi. Tak hanya
itu, menurut pengamatanku, sistem transfortasi di Indonesia pun masih
sangat jauh untuk manyamai Jepang yang teratur. Dan terakhir, banyak
sekali penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya di jalanan.
Sungguh kah pemerintah tak peduli dan ingin memberi mereka pekerjaan
yang lebih layak?
Epilog
Mungkin,
kita bisa dengan nyaman membaca di perjalanan hanya ketika kita
mengunakan pesawat sebagai alat transfortasinya. Hihiiii. Keadaan di
pesawat kan sangat nyaman. Bebas macet, bebas suara klakson, bebas
pengamen. Hanya saja sudah sebesar ini pun, belum pernah sekali pun
naik pesawat. Semoga suatu hari nanti bisa naik pesawat, agar bisa
membaca di perjalanan. Eh?
Ini memang bukan Jepang! Akur, mbak! ;-)
BalasHapushihihihi ^^ akur yaaa.
Hapustos dulu deh :P
SETUJU...
BalasHapus“Hayang kawin win win win hayang kawin..... sya la lala.”
SAYA terkekeh teh... hihi.. duh untung gak guling2...
jangan-jangan bukan setuju sama isi postingannya, tapi sama isi lagunya :P
Hapuskayakny aku gak cocok deh mbak, soalny suka pusing kalo baca di prjalanan..fufufu
BalasHapussalam kenal
saya juga ngga cocok sebenernya, kondisinya tdak membuat nyaman
Hapussalam kenal juga ^^