27 Maret 2012

Ini Indonesia Bukan Jepang

Giveaways MimyaShop Sayembara Pengalamanku

Tidak halal bagiku menyia-nyiakan satu jam dari umurku sehingga lisanku berhenti dari mudzakaroh dan mataku berhenti dari MEMBACA.” 
Ibnu Aqil al-Hambali.



Tidak semua orang faham dengan ucapan Imam Hambali yang luar biasa ini. Namun sepertinya, kedua orangtuaku sangat memahaminya, hingga mereka sudah mencekokiku dengan buku semenjak aku kecil, meski saat itu aku belum bisa membaca. Aku masih ingat, dulu, Bapak sering pulang dengan membawa majalah bobo bekas yang dia dapatkan dari anak Bosnya dimana dia bekerja. Yah, Bapak hanya sanggup membawakanku buku bekas. Tapi aku faham. tak pernah ada kata BEKAS untuk sebuah ilmu. Jadi, meskipun majalahnya terkadang sudah tak utuh, aku tetap senang menerimanya, bahkan sangat senang.



Kecintaanku pada buku ini berlanjut hingga aku sekolah, sampai akhirnya ketika aku duduk di bangku SMP, aku dipercaya menjadi pengurus perpustakaan. Dan, berkat membaca juga, kini aku bisa mengembangkan bakatku di dunia tulis menulis.


Jika membaca pengalamanku dengan dunia membaca di atas, sungguh tak menarik bukan? Kesannya biasa-biasa saja. Tapi aku punya pengalaman lain yang kurasa cukup unik tentang dunia membaca ini.


Kalian tahu Jepang kan? Penduduk di negeri matahari terbit ini kerap kali disebut sebagai orang-orang yang memiliki kedisiplinan tinggi. Menurut cerita guruku sewaktu SD, katanya orang-orang di Jepang senang membaca buku ketika dalam perjalanan. Berbeda dengan orang Indonesia yang kebanyakan menghabiskan hampir seluruh waktunya ketika di perjalanan dengan terlelap alias tidur. ^^ (Termasuk saya). Sekarang, lihatlah hasilnya! Jepang lebih maju dibandingkan Indonesia.


Akhirnya, berbekal tekad yang kuat ingin seperti orang Jepang, aku selalu membawa buku setiap kali bepergian. Berharap, di perjalanan nanti aku bisa memanfaatkan waktu untuk membaca. Hasilnya? Sungguh jauh dari harapan.

Misalnya saja, saat pulang kampung bulan Desember kemarin. Tak tanggung-tanggung aku menyiapkan satu buku dan satu majalah yang rencananya akan kulahap selama perjalanan dari Tangerang ke Sumedang. Tapi sampai aku menginjakan kaki di Sumedang, buku-buku itu tak kusentuh sama sekali.


Sebelum bus berangkat dari terminal kampung rambutan, aku sudah mabuk duluan. Mungkin karena kondisi badanku yang sedang hamil 4 bulan menyebabkan tubuhku jadi sangat sensitif dengan bau-bauan, termasuk bau kendaraan. Dan ketika bus berangkat, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, pengamen dan pedagang asongan masuk ke dalam bus silih berganti. Bus yang sudah penuh sesak dengan penumpang, bertambah sesak dengan kehadiran mereka dan suara bising mereka.


“Yang aus, yang aus.!!”


“Kacang bogor, 5000 tiga.”


“Ya, Ibu ibu Bapak Bapak, ini adalah senter serba guna yang bisa digunakan kapan saja dimana saja.”


“Hayang kawin win win win hayang kawin..... sya la lala.”



Kurang lebih, seperti inilah kondisinya. Bisa kah kalian membaca dengan nyaman di saat seperti ini. Tidak!


Bus baru steril dari pengamen dan pedagang asongan, ketika telah masuk ke jalan tol. Dan di jalan tol pun, aku tak punya kesempatan untuk membaca. Hhihii, karena tadi sudah cukup lelah bersentuhan dengan pengamen dan pedagang asongan, ketika bus telah sepi, aku terlelap dengan sangat pulasnya :)

Keluar dari pintu tol, kebisingan kembali terjadi. Kini di tambah dengan macet, udara yang sangat panas dan bau keringat yang bercampur asap kendaraan. Sungguh tak nyaman. Selain itu, suara bising klakson yang dibunyikan oleh pengemudi-pengemudi yang tak sabaran juga menambah panas udara siang itu. Benar-benar tak nyaman untuk membaca bukan?


Akhirnya aku mengambil sebuah kesimpulan, jika orang-orang di Jepang senang membaca di perjalanan karena memang kondisinya membuat mereka nyaman untuk membaca. Dimulai dari sarana transfortasi yang baik dan tertibnya lalu lintas di sana. Sedangkan di Indonesia? Meskipun tak semuanya sama seperti ceritaku di atas, tapi kebanyakan faktanya memang seperti itu. Di Indonesia, jumlah kendaraan pribadi dan motor terus meningkat tiap tahunnya. Hal ini tentu saja menyebabkan jalan semakin penuh sesak dengan besi-besi berjalan dan polusi. Tak hanya itu, menurut pengamatanku, sistem transfortasi di Indonesia pun masih sangat jauh untuk manyamai Jepang yang teratur. Dan terakhir, banyak sekali penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya di jalanan. Sungguh kah pemerintah tak peduli dan ingin memberi mereka pekerjaan yang lebih layak?



Epilog

Mungkin, kita bisa dengan nyaman membaca di perjalanan hanya ketika kita mengunakan pesawat sebagai alat transfortasinya. Hihiiii. Keadaan di pesawat kan sangat nyaman. Bebas macet, bebas suara klakson, bebas pengamen. Hanya saja sudah sebesar ini pun, belum pernah sekali pun naik pesawat. Semoga suatu hari nanti bisa naik pesawat, agar bisa membaca di perjalanan. Eh?

6 komentar:

  1. Ini memang bukan Jepang! Akur, mbak! ;-)

    BalasHapus
  2. SETUJU...

    “Hayang kawin win win win hayang kawin..... sya la lala.”

    SAYA terkekeh teh... hihi.. duh untung gak guling2...

    BalasHapus
    Balasan
    1. jangan-jangan bukan setuju sama isi postingannya, tapi sama isi lagunya :P

      Hapus
  3. kayakny aku gak cocok deh mbak, soalny suka pusing kalo baca di prjalanan..fufufu
    salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga ngga cocok sebenernya, kondisinya tdak membuat nyaman
      salam kenal juga ^^

      Hapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming